Otonomi Daerah Dalam Bingkai NKRI
Detikdjakarta.com NKRI harga mati adalah sebuah penegasan bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah ketetapan yang tak bisa lagi diubah atau dirongrong sesuai ketentuan perundangan. NKRI harga mati juga merupakan wujud dari rasa nasionalisme yang harus dimiliki semua warga bangsa, bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa kedapan yang lebih sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-2 yang berbunyi, “…..negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” serta alinea ke-4, “…..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia`…”
Namun dalam manifestasi kesatuannya, bangsa Indonesia juga menyadari ke-bhineka-annya. Keberagaman suku, tradisi, norma, agama, dan adat budaya dipandang sebagai kekayaan bangsa yang menjadi modal dasar keteguhan ber-NKRI. Dalam konstitusi kita, segala kebhinekaan dan kekhasan daerah diberi ruang untuk berkembang, salah satunya melalui otonomi daerah.
Tentang otonomi daerah ini ditegaskan melalui pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai Pemerintahan, yang diatur dengan undang-undang.”
*Prinsip dan Praktik Otonomi Daerah*
Prinsip otonomi daerah yang dianut dalam Konstitusi itu kemudian dijabarkan dalam ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti oleh UU Nomer 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dirubah melalui Perpu Nomer 2 Tahun tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 9 UU 23/2014 menyatakan (ayat 1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum; (ayat 2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; (ayat 3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
Yang intinya bahwa seluruh urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah, kecuali urusan (pasal 10 ayat 1) politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.pemerintahan di bidang : a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
Secara a contrario, ketentuan itu dapat dimaknai bahwa salah satu otonomi yang dimiliki daerah ialah otonomi dalam bidang politik dalam negeri/daerah.
Otonomi di bidang politik menjadi jalan bagi masyarakat daerah berpartisipasi dalam tata kelola pemerintahan secara umum, khususnya pemerintahan daerah.
Saat ini ikhtiar untuk mewujudkan otonomi di bidang politik tersebut dilakukan dengan memberi pengaturan tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung, serta pemiihan anggota legislatif secara langsung pula.
*Otonomi Politik Tanpa Partai Politik Lokal*
Hanya saja sistem kepartaian politik dan sistem pemilukada tidak memberikan ruang bagi partai politik lokal. Demokrasi di tingkat lokal masih diwakili oleh struktur partai politik nasional di tinggat lokal, yang tentu saja sangat berpeluang terjadinya intervensi struktur kepartaian di tingkat pusat terhadap struktur partai di level lokal.
Ini disebabkan baik undang-undang tentang partai politik, maupun pemilu dan pemilukada hanya memberikan ruang bagi partai ppolitik nasional semata. Partai politik yang bersifat lokal belum terakomodasi.
Dalam UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang telah dirubah oleh UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menyatakan bahwa, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional….”
Demikian halnya dengan UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu maupun UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota dimana rujukan utama kepesertaannya adalah partai politik nasional.
Padahal di Provinsi Aceh keterlibatan partai politik lokal dalam pemilu sampai kemarin tidak menimbulkan permasalahan yang berarti. Demikian juga pada Pemilu 1955, dimana partai politik lokal boleh mengikuti sebagai peserta, juga tidak menjadi masalah. Jadi mengapa partai politik lokal di diberlakukan saja di seluruh Indonesia.
*Fenomena Calon Tunggal di Pilkada*
Hari Minggu lalu (1/9/2024), Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, menyampaikan bahwa hingga tanggal terakhir pendaftaran pada 29 Agustus 2024, terdapat 43 calon tunggal yang terdiri dari satu provinsi, lima kota, dan 37 kabupaten.
Bisa dibayangkan bahwa 43 pesta demokrasi rakyat di daerah, hanya diisi tarian sepasang calon kepala daerah dan wakilnya, betapa sia-sianya. Itupun belum termasuk calon-calon boneka yang sengaja dipasangkan dan dilooskan.
Ada lagi penjegalan oleh segerombolan ketua umum partai terhadap kandidat yang paling berpotensi menang, seperti yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta, yakni Anies Baswedan. Semua itu adalah ekses dari sistem kepartaian politik yang bersifat nasional. Sistem kepartaian politik nasional telah membungkam aspirasi rakyat dan mengangkangi demokrasi di pilkada.
*Partai Politik Lokal Sebagai Kontijensi*
Hal yang berbeda akan terjadi bila Partai Politik Lokal memiliki kedudukan di sistem politik kita. Pembentukan partai politik lokal dapat menjadi antitesa dari sistem kepartaian yang bersifat nasional yang sekarang ini kebobrokannya terlihat semakin menjadi-jadi.
Partai Lokal sebenarnya lebih bersifat kontijensi terhadap partai politik nasional. Beberapa keuntungan partai lokal adalah lebih dekat dengan pemilih dan dapat mendorong mobilisasi melalui berbagai kegiatan. Partai lokal dapat memberikan membangun rasa solidaritas dan kesamaan tujuan warga lokal. Melalui rasa solidaritas itu, anggota partai dapat dibujuk untuk menjadi aktif secara politik (Clark, 2004).
Para pemimpin partai melihat akuntabilitas ke akar rumput ini lebih penting daripada menerima perintah atasan sebagaimana pengurus partai nasional tingkat lokal lebih mengutamakan perintah DPP (Feigert dan Todd, 1998). Selain itu, wawasan tentang opini publik yang dikumpulkan oleh organisasi partai lokal mungkin berguna bagi organisasi partai negara bagian dan nasional dalam upaya kampanye mereka (Clark, 2004).
Tentu saja partai politik lokal bukan tanpa tantangan, tapi biarlah rakyat yang menentukan dan mengembangkan sistem kepartaian yang efektif bagi mereka. Saatnya menyerahkan kedaulatan yang sesungguhnya kepada yang berhak, yakni rakyat Indonesia.