Jakarta, detikj— Polemik pembatasan kuota impor BBM non-subsidi bagi SPBU swasta kembali menjadi sorotan setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melanggar prinsip persaingan sehat. Namun di tengah derasnya opini publik, pemerintah menegaskan langkah itu bagian dari strategi menjaga ketahanan energi nasional dan neraca migas, bukan pembatasan pasar.
KPPU menyoroti kebijakan melalui Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025, yang membatasi kenaikan impor BBM maksimal 10 persen dari volume 2024. Kajian itu disusun berdasar Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) instrumen internal untuk menilai dampak kebijakan terhadap pasar. Dalam laporannya, KPPU mencatat volume impor SPBU swasta (7.000–44.000 kiloliter) jauh di bawah Pertamina Patra Niaga (613.000 kiloliter) dengan pangsa pasar 92,5 persen, dan menilai kebijakan tersebut memperkuat dominasi Pertamina.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, mengatakan kebijakan itu berpotensi mengurangi pilihan konsumen dan melemahkan persaingan. Namun Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pembatasan bersifat sementara dan sudah dikoreksi: kuota impor swasta kini naik 110 persen, dan kolaborasi dengan SPBU asing akan efektif akhir Oktober 2025.
“Sebetulnya kan tidak ada kelangkaan BBM, itu yang harus dipahami publik. Stok nasional aman 18–21 hari. Pemerintah sudah bertindak cepat, tapi sebagian media besar justru berlomba membuat judul dramatis, seolah negara salah urus. Publik jangan terkecoh narasi yang dibentuk hanya demi sensasi,” ujar Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn kepada awak media, Kamis (10/10/2025)
Kebijakan ESDM, menurut banyak analis energi, merupakan langkah terukur yang sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat kemandirian energi dalam kerangka Asta Cita. Publik pun menilai kebijakan Bahlil sebagai langkah berani yang berpihak pada stabilitas nasional dan keberlanjutan fiskal negara.
“Kalau semua impor dibuka tanpa kendali, potensi defisit migas bisa menembus Rp100 triliun per tahun. KPPU mestinya tidak hanya membaca dari jendela teori, tapi juga dari halaman kenyataan. Negara sedang menyeimbangkan neraca, bukan menutup kompetisi,” kata Romadhon Jasn.
Ia menambahkan, pemerintah justru memberi ruang kolaborasi yang proporsional. Kenaikan kuota 110 persen menegaskan keseimbangan antara swasta dan BUMN. “Kita tidak menutup peluang bagi asing. Kalau mereka butuh pasokan dari Pertamina, silakan. Tapi jangan ingin menguasai dari hulu sampai hilir, lalu menuding pemerintah antipersaingan. Ini soal kedaulatan energi, bukan ego korporasi global,” ujarnya.
Beberapa pengamat menilai, KPPU kali ini tampak terlalu rajin menggarisbawahi teori tanpa melihat lapangan. Kajian yang baru dirilis dua bulan setelah isu mencuat memperlihatkan respon yang lebih administratif ketimbang solutif. Sementara ESDM sudah mengambil langkah korektif sejak September dan berhasil menormalkan stok nasional.
Selain itu, publik perlu membaca data KPPU dengan jernih. “Pertamina memang menguasai 92 persen pasar, tapi 70 persennya adalah BBM bersubsidi untuk rakyat kecil. Jadi membandingkan dengan SPBU asing yang menjual produk premium itu tidak seimbang. Ini bukan dominasi, tapi mandat negara,” ujar Romadhon Jasn.
Romadhon juga menyinggung sikap sebagian media yang kerap menggiring opini seolah kebijakan energi selalu salah arah. Ia menilai, pemberitaan yang hanya menyoroti sisi persaingan tanpa menjelaskan tujuan kebijakan justru memperlemah posisi publik di hadapan kepentingan pasar global.
“Sekarang tinggal kemauan kita menjaga perspektif. KPPU tetap penting, tapi jangan berubah jadi corong teori ekonomi. Kedaulatan energi adalah keputusan politik bangsa. Kalau logika pasar dijadikan kitab suci, maka yang kalah bukan korporasi, tapi rakyat sendiri,” tutup Romadhon Jasn.