JAKARTA,- Pertemuan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan Koalisi Masyarakat Sipil di PTIK awal pekan ini memberi ruang penting dalam hubungan negara dan warga. Forum ini menjadi arena terbuka bagi publik sipil menyampaikan kritik keras, mulai dari dugaan keberadaan oknum saat aksi protes hingga harapan agar agenda reformasi kepolisian berjalan nyata.
Fakta bahwa Kapolri menghadiri forum semacam ini menunjukkan bahwa Polri tidak sedang menutup diri. Di tengah sorotan tajam publik, langkah menghadirkan ruang dialog bisa dibaca sebagai gestur keterbukaan. Forum yang menghadirkan kelompok kritis, termasuk akademisi Rocky Gerung, memperlihatkan bahwa Polri membuka diri pada suara yang selama ini berada di luar pagar institusi. Di ruang ini, kritik dan harapan bertemu, menghadirkan dinamika yang lebih sehat bagi demokrasi.
Salah satu kritik tajam datang dari Rocky Gerung. Ia mengingatkan bahwa reformasi Polri tidak boleh berhenti pada pemisahan kelembagaan atau perombakan struktur belaka. Menurutnya, inti reformasi harus menyentuh nilai sipil yang mendasari eksistensi kepolisian dalam negara demokratis. Kritik ini memperdalam diskursus, menggeser pembicaraan dari sekadar soal teknis menjadi soal prinsip.
Sorotan paling menukik datang dari perwakilan masyarakat sipil yang menyinggung keberadaan “orang berbadan kekar, rambut cepak” di lapangan aksi. Kehadiran figur semacam ini kerap dituding sebagai pemicu kerusuhan yang merusak legitimasi demonstrasi damai. Pertanyaan kunci bagi publik: apakah Polri berani menelusuri tuduhan tersebut secara transparan atau sekadar menepisnya?
Kapolri merespons dengan menekankan agenda besar transformasi internal. Tim khusus yang dibentuk disebut menjadi instrumen untuk mengubah SOP pengamanan aksi, memperkuat pengawasan, hingga membenahi struktur internal. Publik tentu mencatat, tim bukanlah jawaban itu sendiri, melainkan alat untuk menghasilkan perubahan yang terukur.
Isu inilah yang dibaca sebagai ujian serius bagi komitmen Polri. “Dialog terbuka ini harus diikuti dengan bukti, bukan sekadar pidato. Reformasi hanya akan bermakna bila publik melihat perbedaan nyata di lapangan,” ujar Ketua Jaringan Aktivis Nusantara, Romadhon Jasn, dalam keterangannya, Selasa (30/9/2025)
Di luar kritik, data capaian Polri sebenarnya memberi modal untuk melangkah lebih jauh. Program Presisi telah menghadirkan layanan digital, dari SIM hingga SKCK online, serta kanal darurat 110. Pendekatan restorative justice juga diterapkan dalam ribuan perkara ringan yang diselesaikan tanpa pengadilan. Namun capaian ini sering tertutup oleh peristiwa represif yang viral di ruang publik.
Karena itu, tuntutan publik agar dialog diikuti dengan indikator jelas menjadi relevan. “Apresiasi boleh, tetapi publik wajib menagih timeline, laporan, dan sanksi konkret terhadap oknum. Tanpa itu, reformasi hanya akan dianggap kosmetik,” tegas Romadhon Jasn.
Kritik masyarakat sipil terkait praktik lapangan seharusnya dibaca sebagai pintu masuk perbaikan struktural. Polri perlu memperkuat pengawasan eksternal dengan melibatkan Kompolnas, lembaga independen, hingga elemen sipil. Reformasi tak bisa lagi berdiri di ruang tertutup; ia harus diverifikasi oleh pengawasan publik.
Dorongan agar publik menjaga keseimbangan sikap juga penting. “Kritik memang perlu, tapi jangan jatuh ke sinisme yang melemahkan. Kapolri sudah membuka ruang, dan pintu itu harus dijaga tetap terbuka dengan pengawalan yang sehat,” kata Romadhon Jasn.
Akhirnya, makna pertemuan ini terletak pada tindak lanjutnya. “Publik jangan puas dengan seremoni. Kritik harus dijaga sebagai vitamin yang memperkuat institusi, bukan racun yang melemahkan. Dari situ, reformasi Polri akan mendapat pijakan kokoh dan kembali dipercaya rakyat,” tutup Romadhon Jasn.