DetikdJakarta.com | Jakarta – Sejumlah tokoh senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berasal dari keluarga besar dan eksponen pendiri partai hasil fusi tahun 1973 (NU, Parmusi, Sarekat Islam, dan Perti) menggelar pertemuan di kediaman almarhum KH. Rusli Halil, salah satu tokoh pendiri PPP, di Jl. Gereja No.24, Cilandak Barat, Jakarta Selatan(30/9/2025).
Pertemuan ini digelar sebagai respons atas dinamika dan kekisruhan yang terjadi pasca-Muktamar X PPP.
Tokoh Senior Lintas Generasi Hadir
Hadir dalam kesempatan tersebut sejumlah tokoh lintas generasi, di antaranya:
Prof. Dr. Anwar Sanusi, mantan Ketua Umum PPP dan anggota DPR RI empat periode, perwakilan dari Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Rahmat Ferial, senior PPP, mantan anggota DPR RI lima periode.
Imam Aulia Cokroaminoto, keturunan langsung dari HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam.
Prof. Dr. KH. Husnan Bey Fananie, tokoh senior PPP, mantan Duta Besar RI untuk Azerbaijan (2016–2020), akademisi, dan kini disebut-sebut sebagai calon Ketua Umum PPP.
Dalam pernyataannya, Prof. Dr. KH. Husnan Bey Fananie menegaskan bahwa PPP harus kembali pada jati dirinya sebagai rumah besar umat Islam. Ia menilai konflik internal, dualisme kepemimpinan, serta perebutan kursi belakangan ini telah merusak marwah partai.
PPP lahir pada 5 Januari 1973 dari fusi empat partai Islam. Ia didirikan sebagai rumah besar umat Islam, tempat menyalurkan aspirasi politik, menjaga moral bangsa, serta memperjuangkan keadilan sosial. PPP bukan milik elit, bukan barang dagangan, bukan pula warisan yang diperebutkan. PPP adalah amanah umat,” tegas Fananie.
Fananie juga menyerukan agar pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, ikut mengambil peran sebagai penengah dalam menyelesaikan konflik kepemimpinan PPP.
Kami menolak hasil muktamar yang cacat aturan. Untuk itu, kami berkomitmen menggelar muktamar ulang pada tahun 2025 sebagai langkah mengembalikan PPP ke jalur yang benar. Ini bagian dari ibadah politik, menjaga umat sekaligus menjaga bangsa,” lanjutnya.
Tokoh-tokoh eksponen 1973 menekankan bahwa PPP harus kembali menghidupkan peran poros tengah sebagai kekuatan moral-politik yang menyeimbangkan dinamika demokrasi Indonesia.
Kita tidak sedang membangun alat kekuasaan, tapi sedang menjaga amanah umat. Poros tengah harus kembali berdiri kokoh, sebab dari situlah PPP dapat menjadi penentu arah politik bangsa,” tutup Fananie.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Anwar Sanusi juga mengingatkan kembali nilai dasar perjuangan PPP yang lahir dari para ulama pendiri.
Menurutnya, PPP tidak boleh melupakan 5 Khitbah Partai dan 6 Prinsip Perjuangan, yang salah satunya menekankan pentingnya membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, menuju masyarakat yang adil, makmur, dan diridhai-Nya.
Ia menegaskan bahwa asas dan simbol partai seharusnya dijaga sebagai amanah, bukan diperebutkan.
Sangat memalukan jika partai yang berasas Islam berlambangkan Ka’bah justru dipakai untuk rebutan jabatan. Padahal, para ulama mendirikannya untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, agar lahir masyarakat adil dan makmur. Itulah pesan yang ingin saya titipkan sebagai penerus eksponen pendiri,” ujar Sanusi.
Pertemuan ditutup dengan doa serta penegasan bahwa PPP harus kembali ke khitah perjuangan Islam, berlandaskan musyawarah, dan menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Panitia menyampaikan terima kasih kepada para tokoh, ulama, dan awak media yang hadir.
Kami atas nama panitia mengucapkan terima kasih atas perhatian rekan-rekan media cetak, media elektronik, maupun media online. Mohon maaf bila ada kekurangan dalam penyelenggaraan pertemuan ini,” tutup panitia.