Jakarta – Forum Indonesia Peduli Hukum (FIPH) mendesak Bareskrim Mabes Polri untuk segera mengusut tuntas dugaan aktivitas pertambangan ilegal yang semakin marak terjadi di Desa Sarimukti, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Dalam kasus ini, Kepala Desa Sarimukti diduga terlibat aktif sebagai fasilitator kegiatan tambang ilegal yang merusak lingkungan dan mengancam keselamatan warga.
Kegiatan penambangan bijih nikel secara besar-besaran di wilayah tersebut diduga kuat dilakukan tanpa izin usaha pertambangan (IUP) resmi. Aktivitas ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan serius serta mengancam kesejahteraan masyarakat sekitar.
Juru bicara FIPH, Abdi Aditya, menyampaikan bahwa praktik tambang ilegal di Desa Sarimukti telah berlangsung cukup lama dan terkesan dibiarkan oleh aparat penegak hukum. Ironisnya, kepala desa setempat justru diduga turut memfasilitasi operasi pertambangan ilegal tersebut.
“Penambangan tanpa izin umumnya dilakukan tanpa memperhatikan kaidah konservasi lahan, sehingga memperparah risiko erosi, longsor, dan pencemaran sumber air. Ini dapat memperburuk kualitas hidup masyarakat, bahkan meningkatkan potensi stunting di wilayah lingkar tambang,” ujar Abdi.
Abdi juga menyoroti bahwa keuntungan dari praktik ilegal ini hanya dinikmati segelintir pihak—terutama para penambang dan kepala desa yang terlibat. Sementara itu, masyarakat harus menanggung dampaknya dalam bentuk gangguan kesehatan akibat debu, limbah tambang, serta kerusakan ekosistem.
“Bagaimana mungkin seorang pemimpin desa, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, justru menjadi bagian dari jaringan kejahatan lingkungan? Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik,” tegasnya.
FIPH secara tegas meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera menginstruksikan Kapolda Sulawesi Tenggara agar melakukan inspeksi mendadak ke lokasi pertambangan ilegal di Desa Sarimukti dan mengambil tindakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu.
Sebagai dasar hukum, Abdi merujuk pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dapat dipidana dengan penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
“Kami mendesak dilakukan audit independen terhadap seluruh aset dan kewenangan kepala desa yang diduga telah disalahgunakan untuk memfasilitasi kegiatan pertambangan ilegal. Hukum harus ditegakkan, lingkungan harus diselamatkan, dan rakyat tidak boleh terus menjadi korban,” tutup Abdi Aditya.