Jakarta, detikj — Publik kembali dibuat bingung dengan arah kebijakan ketenagakerjaan nasional. Dua menteri yang seharusnya saling mendukung, justru mengirim sinyal bertolak belakang. Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Abdul Kadir Karding, sebelumnya mendorong masyarakat untuk mencari kerja ke luar negeri guna mengatasi pengangguran. Namun Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, justru menyatakan sebaliknya: masyarakat tidak perlu kabur ke luar negeri karena pemerintah tengah menyiapkan sistem kerja nasional yang lebih baik.
Pernyataan dua pejabat ini muncul hanya berselang beberapa hari dan menjadi bukti bahwa kabinet belum satu suara dalam menyikapi problem strategis ketenagakerjaan. Di tengah janji besar menciptakan 19 juta lapangan kerja, publik dipertontonkan oleh dua arah: satu mendorong rakyat keluar, yang lain meminta mereka bertahan.
Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) menilai perbedaan ini bukan sekadar miskomunikasi, tetapi menunjukkan ketidaksiapan struktur negara dalam menjawab persoalan lapangan kerja. “Yang satu seperti sudah menyerah, satunya lagi baru mulai membangun. Lalu rakyat harus ikut siapa?” ujar Ketua JAN, Romadhon Jasn, saat dihubungi, Kamis (3/7/2025).
Romadhon menilai pernyataan Karding sangat bermasalah, apalagi muncul di tengah sorotan buruk terhadap sistem migrasi nasional. Sepanjang 2024, lebih dari 1.500 kasus kekerasan dan pelanggaran terhadap PMI tercatat, namun negara belum menunjukkan perbaikan mendasar. “Sebelum menyuruh rakyat pergi, perbaiki dulu proteksinya. Jangan dorong migrasi dengan sistem bolong-bolong,” ujarnya.
Ia juga menyoroti lemahnya koordinasi antarkementerian dalam menyusun arah migrasi dan ketenagakerjaan. JAN menilai perbedaan pernyataan Karding dan Yassierli adalah gambaran kecil dari kebingungan lebih besar. “Jangan-jangan ini bukan soal beda gaya komunikasi, tapi beda peta jalan. Yang satu bicara jangka pendek, yang lain bicara visi. Tapi rakyat butuh kepastian sekarang,” tegas Romadhon.
Di sisi lain, ekosistem kerja dalam negeri memang belum menjawab ekspektasi angkatan kerja baru. Sektor padat karya melemah, vokasi belum merata, dan ekonomi digital belum inklusif. Tapi mendorong eksodus tenaga kerja tanpa membenahi perlindungan adalah kebijakan reaktif, bukan solusi strategis.
Publik menilai narasi migrasi sebagai solusi pengangguran sangat berbahaya jika dilegalkan oleh negara. Ia bisa menjadi pembenaran untuk absen dalam pembangunan kerja lokal, sekaligus menyuburkan praktik rente dalam skema penempatan tenaga kerja ke luar negeri.
JAN mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengevaluasi disharmoni ini. “Kalau kabinet tidak kompak dalam hal strategis seperti kerja dan migrasi, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan. Bukan karena pernyataan, tapi karena ketidakkonsistenan arah,” ujar Romadhon.
Menurutnya, sudah saatnya pemerintah menetapkan satu narasi nasional yang mengutamakan kemandirian. “Kalau kita terus menyuruh rakyat pergi, lalu siapa yang membangun dari dalam? Jangan sampai pejabat lebih nyaman melihat rakyat keluar ketimbang memperjuangkan mereka bertahan,” pungkasnya.