Jakarta, detikj,- RUU Polri dan revisi KUHP menjadi sorotan utama dalam perdebatan penegakan hukum di Indonesia. Polri ingin menyesuaikan perannya dengan tantangan modern: terorisme, kejahatan siber, pandemi, dan demokrasi digital. Bersamaan, RUU KUHP mengusulkan Dominus Litis yang memberi jaksa kendali penuh penyidikan, sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
Jaringan Aktivis Nusantara menyambut positif revisi RUU Polri dan KUHP sebagai momentum memperkuat Polri Presisi agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern. Polri kini dihadapkan pada tantangan baru—dari kejahatan siber hingga pandemi—yang memerlukan otonomi kelembagaan lebih besar dan kewenangan penyidikan yang sigap.
Di satu sisi, Polri mengajukan tiga pilar utama dalam RUU Polri: (1) pengelolaan anggaran mandiri melalui badan layanan umum untuk mempercepat belanja operasional, (2) perluasan wewenang penyidikan tindak pidana siber dan kesehatan publik, serta (3) penataan manajemen personel sepenuhnya di bawah komando Kapolri. Aspirasi ini bertujuan menutup celah birokrasi dan mempercepat kerja di lapangan.
Namun, masyarakat menuntut keseimbangan antara fleksibilitas dan akuntabilitas. Aktivis dan LSM menolak skema badan layanan umum tanpa audit BPK reguler, pengawasan eksternal melalui Komnas HAM atau Ombudsman, serta partisipasi warga dalam forum pengawasan wilayah. Harapan publik bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga keterbukaan dalam penggunaan dana negara.
Polri harus menanggapi tuntutan ini sebagai panggilan memperkuat budaya integritas.“Otonomi tanpa akuntabilitas akan menjadi bumerang. Polri harus memastikan setiap rupiah anggaran benar‑benar untuk kepentingan publik,” kata ketua JAN Romadhon Jasn,” Sabtu (14/6)
Sementara itu, dalam RUU KUHP, pemerintah mengusulkan asas Dominus Litis yang memberi jaksa kendali penuh atas penyidikan. Kejaksaan Agung mendukung hal ini demi memangkas backlog dan memotong politisasi kasus. Di mata Polri, dominus litis sepenuhnya justru bisa melemahkan peran awal mereka dalam investigasi dan menimbulkan ketidakjelasan kewenangan.
Tumpang tindih kewenangan menuntut mekanisme sinergi kelembagaan. Model ideal adalah Polri memimpin investigasi awal—mengumpulkan bukti dan saksi—kemudian menyerahkan pelimpahan kasus kepada Kejaksaan untuk tahap penuntutan. Sinergi ini memerlukan komitmen menahan ego institusional demi efektivitas peradilan pidana.
Sebagai jawaban, dibutuhkan Dewan Pengawas Gabungan yang melibatkan Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, serta perwakilan masyarakat sipil. Dewan ini akan meninjau keputusan penghentian atau pelimpahan perkara dan membuka kanal pengaduan publik. “Badan ini penting agar lembaga penegak hukum tidak berjalan sendiri‑sendiri,” tegas Romadhon Jasn.
Inovasi digital menjadi pilar berikutnya: portal “Track Perkara” terintegrasi akan memperlihatkan status setiap kasus—dari laporan masuk hingga putusan pengadilan—serta ringkasan penggunaan anggaran. Publik dapat memantau perkembangan dan memastikan dana dipakai benar‑benar untuk penegakan hukum.
Rekomendasi tambahan mencakup: (1) audit operasional Polri setiap semester, (2) penguatan Divisi Pengawasan Internal menindak anggota melanggar kode etik, (3) pelatihan dan sertifikasi berkelanjutan bagi penyidik dan jaksa, serta (4) forum dialog publik rutin untuk mengevaluasi pelaksanaan RUU Polri dan KUHP. “Partisipasi masyarakat adalah kunci agar reformasi tak mandek,” imbuh Romadhon Jasn.
RUU Polri dan KUHP bukan sekadar perubahan pasal, tetapi peluang mempertegas Polri Presisi: institusi cepat tanggap, akuntabel, dan berkeadilan. Dengan sinergi kelembagaan yang jelas, transparansi digital, serta dukungan masyarakat sipil, kita dapat meneguhkan kepercayaan rakyat pada sistem peradilan modern.