Jakarta, detikj — Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) menyelenggarakan diskusi nasional bertema “Dinamika Politik Indonesia Hari Ini, Legitimasi Wakil Presiden, dan Propaganda Asing” di Zamra Resto, Jakarta, Minggu (29/6/2025). Forum ini menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, termasuk aktivis, akademisi, hingga penulis politik, untuk membahas tantangan legitimasi kepemimpinan dan pengaruh narasi luar terhadap stabilitas nasional.
Ketua Umum DPP KNPI, Putri Khairunnisa, menegaskan bahwa tidak ada alasan hukum maupun politik untuk mempersoalkan posisi Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka. Ia menyampaikan bahwa pasangan Prabowo-Gibran telah memperoleh mandat sah dari rakyat dengan 96 juta suara atau 58,6 persen dalam Pemilu 2024.
“Legitimasi Gibran tak terbantahkan dalam sistem demokrasi kita. Narasi pemakzulan hanya akan mengganggu stabilitas nasional,” tegas Putri.
Putri juga mengajak publik, khususnya generasi muda, untuk lebih kritis dan tak mudah terprovokasi oleh opini spekulatif. Menurutnya, demokrasi tidak dibangun dengan asumsi, melainkan dengan akal sehat dan tanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
Sementara itu, penulis dan analis politik Ali Sadikin mengingatkan publik untuk tetap sadar sejarah. Ia mencontohkan bagaimana transisi kekuasaan pernah terjadi secara non-konstitusional di era Soekarno, Soeharto, hingga Gus Dur.
“Dalam politik, kemungkinan selalu ada. Tapi itu bukan berarti harus dijadikan agenda. Stabilitas lebih penting dari spekulasi politik,” ujarnya.
Dari sudut pandang akademis, Bambang Hermansyah, dosen komunikasi politik Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, menyampaikan bahwa tantangan terbesar demokrasi hari ini bukan sekadar legitimasi elektoral, melainkan bagaimana menjaga kepercayaan publik dalam jangka panjang.
“Legitimasi bisa luntur jika kepercayaan publik runtuh. Di tengah era digital, propaganda asing bisa mengganggu persepsi dan menciptakan tekanan sosial-politik,” jelasnya.
Bambang juga menekankan perlunya ketahanan komunikasi nasional. Menurutnya, arus informasi yang tak terkendali bisa dimanfaatkan oleh aktor luar negeri untuk menciptakan instabilitas. Ia mendorong agar media dan masyarakat sipil memperkuat literasi politik serta menjadi benteng terhadap disinformasi.
Diskusi ini dipandu oleh moderator akademisi komunikasi polistik Akril Abdillah dan berlangsung dinamis. Sejumlah peserta dari kalangan aktivis dan mahasiswa turut menyampaikan pandangan kritis, namun tetap dalam semangat kebhinekaan dan konstitusionalisme.
Moderator menutup diskusi dengan menekankan pentingnya menjaga ruang dialog publik agar tetap terbuka dan sehat. Demokrasi, katanya, membutuhkan partisipasi kritis dan narasi yang menguatkan, bukan memecah belah.