Jakarta, detikj – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengeluarkan kebijakan tegas melalui Instruksi Gubernur Nomor 6 Tahun 2024, yang mewajibkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI menggunakan transportasi umum setiap hari Rabu. “Kebijakan ini menuai perhatian Jaringan Masyarakat Madura Jakarta (JAMMA), yang menyatakan dukungan penuh. Apa yang membuat kebijakan ini menarik? Mari kita bedah secara logis dan membumi,” kata Ketua Umum JAMMA, Edi Homaidi, Sabtu (10/5)
Pertama, kebijakan ini bukan sekadar aturan birokratis, melainkan langkah strategis mengatasi kemacetan Jakarta. Dengan memaksa ASN beralih ke transportasi umum, Pramono ingin menanamkan budaya baru: pejabat harus jadi teladan. Jika ASN, yang jumlahnya puluhan ribu, konsisten naik Transjakarta, MRT, atau KRL, dampaknya signifikan terhadap pengurangan kendaraan pribadi. Logikanya sederhana: lebih sedikit mobil di jalan, lebih lancar arus lalu lintas.
Kedua, kebijakan ini punya dimensi lingkungan. Jakarta, dengan polusi udaranya yang kian parah, membutuhkan aksi nyata. Transportasi umum, meski belum sempurna, jauh lebih ramah lingkungan ketimbang mobil pribadi. JAMMA menilai langkah ini selaras dengan kebutuhan mendesak untuk udara yang lebih bersih, terutama bagi komunitas urban seperti masyarakat Madura yang banyak bermukim di wilayah padat.
Ketiga, ada elemen kepemimpinan simbolis. Pramono sendiri turun langsung naik Transjakarta, menunjukkan bahwa aturan bukan cuma jargon. Ini penting karena kepercayaan publik sering luntur akibat inkonsistensi pemimpin. Dengan menjadi contoh, Pramono membangun narasi bahwa perubahan dimulai dari atas. Edji mengapresiasi sikap ini sebagai bentuk integritas.
Keempat, kebijakan ini juga punya sisi disiplin. ASN yang nekat bawa kendaraan pribadi akan diusir dan dianggap bolos. Sanksi ini, meski terdengar keras, masuk akal. Tanpa hukuman tegas, aturan cenderung jadi angin lalu. Namun, pengecualian diberikan bagi ASN yang sakit, hamil, penyandang disabilitas, atau petugas lapangan, menunjukkan fleksibilitas yang manusiawi.
Kelima, JAMMA melihat potensi efek domino. Jika ASN patuh, masyarakat umum bisa terinspirasi. Jakarta, dengan sistem transportasi umum yang kini mencakup 90 persen wilayah, punya infrastruktur memadai. Namun, budaya naik angkutan umum masih lemah. Kebijakan ini bisa jadi pemicu perubahan perilaku sosial yang lebih luas.
Keenam, ada tantangan praktis. ASN yang tinggal di luar Jakarta, seperti Bogor atau Bekasi, mungkin kesulitan karena konektivitas transportasi umum ke daerah penyangga belum optimal. Pramono menjawab ini dengan rencana perluasan Transjabodetabek, yang akan menghubungkan wilayah aglomerasi. Langkah ini menunjukkan visi jangka panjang yang rasional.
Ketujuh, kebijakan ini juga hemat anggaran. Pemprov DKI menyediakan transportasi umum gratis bagi ASN setiap Rabu. Dibandingkan menyediakan kendaraan dinas, opsi ini lebih efisien. JAMMA menilai ini sebagai pengelolaan sumber daya yang cerdas, terutama di tengah tekanan fiskal daerah.
Kedelapan, aspek teknologi juga diperhatikan. ASN diwajibkan melaporkan penggunaan transportasi umum via swafoto, yang dipublikasikan di media sosial unit kerja. Ini bukan sekadar formalitas, tapi cara memanfaatkan digitalisasi untuk transparansi dan edukasi publik. Logikanya, publik bisa melihat langsung komitmen ASN.
Kesembilan, JAMMA menyoroti potensi resistensi. Perubahan budaya selalu sulit, terutama bagi ASN yang terbiasa dengan kenyamanan kendaraan pribadi. Namun, dengan evaluasi ketat—96 persen ASN sudah patuh per Mei 2025—kebijakan ini membuktikan bahwa perubahan mungkin jika ada kemauan politik yang kuat.
Terakhir, kebijakan ini adalah cerminan bahwa solusi besar dimulai dari langkah kecil. Jakarta tak akan bebas macet dalam semalam, tapi memaksa ASN naik transportasi umum adalah langkah awal yang konkret. Edi berharap kebijakan ini diperluas ke hari lain atau sektor lain, dengan perbaikan layanan transportasi sebagai pendukung. Pramono telah meletakkan fondasi; kini publik menanti konsistensinya.