Jakarta, detikj- Dalam wawancaranya di media nasional beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan bahwa pembangunan kota bukan sekadar urusan gedung tinggi atau jalan lebar. “Saya tidak ingin Jakarta menjadi kota hantu. Kita harus menghidupkan kota ini, bukan hanya membesarkannya,” tegasnya.
Pernyataan itu kembali bergema usai peringatan Hari Ulang Tahun ke-497 Jakarta pada 22 Juni lalu. Di tengah hingar-bingar acara dan parade kota, refleksi tentang “Jakarta yang hidup” menjadi penting. Jakarta memang terus berkembang, tapi tak boleh kehilangan jiwa dan warganya di tengah kemajuan fisik.
Berbagai program prioritas sudah diluncurkan: revitalisasi Pasar Baru, taman kota 24 jam, JakCare, dan perluasan rute TransJabodetabek. Semua ini merupakan upaya Pemprov untuk mengembalikan ruang-ruang kota agar kembali menjadi tempat bernafas, berkegiatan, dan berinteraksi antarsesama warga.
Jaringan Masyarakat Madura Jakarta (JAMMA), yang merupakan bagian dari relawan Pramono–Doel saat Pilkada 2024, menyatakan dukungan terhadap arah kebijakan ini. “Kami senang ketika pemimpin bicara soal kota yang hidup. Karena itu berarti bicara tentang warga, bukan sekadar bangunan,” ujar Ketua Umum JAMMA, Edi Homaidi, di Jakarta, Selasa (24/6/2025)
Gubernur Pramono juga menyuarakan pentingnya menghadirkan ruang yang ramah bagi pedagang kecil, seniman, komunitas lokal, dan warga dari semua latar belakang sosial. Kebijakan seperti digitalisasi pasar tradisional, penataan Tanah Abang, serta ruang ekspresi terbuka menunjukkan semangat kota yang berpihak dan memberdayakan.
JAMMA memandang pembangunan Jakarta tidak boleh melulu vertikal. Konektivitas antarwilayah, kenyamanan ruang publik, dan rasa aman warga harus menjadi ukuran keberhasilan. “Jakarta hidup ketika Cakung, Koja, dan Kalideres terasa sama hidupnya dengan Sudirman dan Thamrin,” kata Edi.
Meski apresiatif, JAMMA memberi beberapa catatan penting. Di sejumlah wilayah, ruang publik masih kurang inklusif bagi perempuan, disabilitas, dan anak-anak. “Taman boleh buka 24 jam, tapi kalau lampu mati dan petugas tidak ada, siapa yang mau datang malam hari?” ujar Edi memberi ilustrasi.
Namun demikian, kebijakan seperti JakCare untuk konsultasi mental, layanan JakAmbulans darurat, dan subsidi transportasi menunjukkan arah kota yang tidak hanya modern, tapi juga manusiawi. JAMMA berharap semua program itu terus dijaga konsistensinya dan diperluas jangkauannya.
“Kota yang hidup bukan hanya kota yang bergerak, tapi kota yang mau mendengar. Kami siap menjadi jembatan antara warga di lapangan dengan pemerintah,” tegas Edi. Ia juga mengajak organisasi masyarakat sipil lain untuk aktif terlibat dalam proses pembangunan kota.
Di usia ke-497 ini, Jakarta tak perlu sekadar dirayakan. Ia perlu dirawat, dipikirkan, dan dihidupkan. Dan seperti kata Pramono, kota ini tak akan jadi hantu selama warganya percaya, hadir, dan ikut menyalakan hidupnya—dari jalan, dari pasar, dari taman, dan dari hati mereka sendiri.