Peringatan Dies Natalis HMI ke-78 pada 14 Maret 2025, dengan tema “HMI untuk Kedaulatan Bangsa,” hanyalah topeng kosong yang menyembunyikan kemunduran organisasi ini. Di bawah komando Bagas Kurniawan, Pengurus Besar HMI memilih Balai Sudirman—tempat yang jelas mahal—untuk menggelar acara mewah di tengah krisis bangsa. Lebih absurd lagi, milad HMI yang biasanya diperingati setiap 5 Februari tiba-tiba bergeser ke 14 Maret, seolah tanggal pun bisa diganti demi memoles agenda seremonial. Tindakan nyata untuk rakyat? Kosong. Kritik kepada pemerintah? Tak ada. HMI yang seharusnya jadi benteng kedaulatan malah jadi panitia pesta, sibuk berpose dengan senyum plastik yang jauh dari realitas rakyat.
Zaman dulu cerita dari para kakanda kita, PB HMI itu adalah suara lantang yang ditakuti penguasa. Setiap bulan, tulisan-tulisan kritis mereka menghiasi media nasional, menggugat kebijakan pemerintah, dan menawarkan solusi untuk bangsa. Mereka adalah mahasiswa muslim sejati: (agent of change dan control) yang tak gentar mengawal keadilan. Tapi lihat PB HMI hari ini, hanya mampu menulis status pendek di media sosial, lalu membanggakannya seolah itu prestasi besar. Sungguh ironi yang memalukan. Dari pena tajam di koran nasional menjadi jempol lincah di X atau Instagram, HMI telah jatuh dari podium intelektual ke kubangan narsis digital. Jika dulu mereka mengguncang kekuasaan dengan argumen, kini mereka puas mengguncang algoritma dengan kata-kata kosong. Kedaulatan bangsa, katanya—tapi bagaimana bisa tercapai jika “perjuangan” mereka cuma sebatas like dan retweet?
Lebih memilukan, acara ini didukung penuh oleh alumni dan pejabat negara, seolah kemewahan itu lambang kejayaan HMI. Tokoh yang hadir juga seperti kakanda Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum PB HMI, hadir tak ubahnya penutur dongeng nostalgia. Sebagai figur yang seharusnya memberi teladan, mereka malah larut dalam euforia seremonial, diam seribu bahasa saat kepemimpinan HMI berjalan pincang. Kanda Anas bisa saja berpidato panjang tentang “visi besar,” tapi tak ada sepatah kata pun yang menyentuh absurditas acara glamor ini atau sikap Bagas yang anti-kritik. Harusnya para alumni ini jadi dokter jiwa, memberikan “sok terapi” kepada pengurus agar sadar tugas mereka sebagai mahasiswa muslim: mengawal keadilan, mengkritisi kezaliman, dan melayani rakyat—bukan berparade dalam jas mahal. Tapi nyatanya, mereka memilih jadi penonton setia, membiarkan HMI tenggelam dalam ilusi kebesaran yang sia-sia.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad). Tapi apa yang dilakukan HMI hari ini? Dana dan energi yang bisa dipakai untuk membantu rakyat atau menulis kritik tajam habis untuk dekorasi mewah dan sesi foto. Di luar sana, rakyat menjerit melawan kemiskinan dan ketidakadilan, sementara pengurus HMI asyik mengabadikan kebahagiaan mereka di Balai Sudirman. Kader HMI seluruh Indonesia hanya bisa mengelus dada, menyaksikan organisasi besar ini berubah jadi ajang pamer gengsi, jauh dari ruh perjuangan untuk rakyat terpinggirkan. Jika dulu HMI adalah suara rakyat, kini ia lebih mirip megafon elit yang tak peduli pada jeritan di bawah.
Tragisnya lagi, saat beberapa kader HMI Jakarta memboikot acara ini demi menyuarakan aspirasi rakyat, suara mereka dibungkam. Pengurus PB HMI menutup mata dan telinga, memperlakukan kritik dari dalam sebagai gangguan, bukan pencerahan. Jika aspirasi kader sendiri diabaikan, bagaimana mereka bisa dipercaya mendengar rakyat? Bagas Kurniawan dan jajarannya telah menunjukkan prioritas mereka: status sosial dan kemewahan, bukan perjuangan sejati. Ini bukan sekadar kegagalan kepemimpinan, tapi pengkhianatan terhadap jati diri HMI sebagai agen perubahan sosial.
HMI seharusnya jadi pelopor keadilan, bukan panggung kemeriahan yang hampa. Jika pengurus hari ini terus terpaku pada pose ketimbang prose, status medsos ketimbang kritik media, masa depan HMI akan semakin suram. Dukungan dari alumni dan pejabat negara hanya memperparah keadaan, menegaskan bahwa organisasi ini kini lebih akrab dengan elit ketimbang rakyat. Para alumni seharusnya malu: mereka yang dulu menulis sejarah perjuangan kini membiarkan generasi baru menulis caption kosong. Maka, mari kita tanya: jika HMI kini sudah rusak—dari tanggal yang diubah seenaknya, kritik yang meredup, hingga pemimpin yang buta realitas—bagaimana ia bisa dipercaya membawa kedaulatan bangsa? Jawabannya ada di cermin para pengurus dan pendukungnya, tapi sayang, mereka terlalu sibuk mengagumi bayangan sendiri untuk melihat kehancuran yang mereka ciptakan.
Penulis : Via Kader HmIwati Jakarta Raya
Kritik adalah tradisi otentik dari HMI sama halnya kritis adalah wajah asli kader HMI. Kader HMI harus punya sikap kritis terhadap penguasa dan menjadikan kritik terhadap penguasa sebagai suplemen organisasinya, buka malah sebaliknya ‘bermesraan’ dengan pemerintah dengan kegiatan seremonial. Kader HMI jg harus punya kepekaan sosial yang tinggi, ditengah pengetatan ekonomi akibat efisiensi oleh pemerintah, anggaran seremonial tersebut lebih pas digunakan untuk baksos atau melaksanakan program kerja yang merakyat. Seharusnya HMI segera sadar diri bahwa mereka adalah organisasi kader dan mahasiswa bukan organisasi politik. Tujuan mereka bukan kekuasaan tetapi pencerahan di bidang akademik dan ditengah masyarakat. Kekuasaan (legislatif, yudikatif, eksekutif) Adalah sasaran kritik mereka sebagai kawah candradimuka membangun sikap kritis dalam diri. Semoga pengurus HMI segera sadar diri akan tujuan mereka yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Alloh SWT. Semoga mereka juga selalu ingat bahwa mereka punya indepedensi etis dan organisatoris yg membuat mereka wibawa dihadapan penguasa dan para alumninya.