Detikdjakarta.com|Jakarta – Upaya mediasi antara warga Apartemen MGR.2 , Grogol, Jakarta Barat, dengan pihak P3SRS dan pengelola kembali menemui jalan buntu. H. Bataya, salah satu warga yang melayangkan aduan, menyatakan bahwa mediasi yang berlangsung pada 4 Juni 2025 di kantor Walikota Jakarta Barat, gedung B lantai 4, dia menyatakan telah gagal.
Mediasi ini merupakan tindak lanjut atas aduan yang sebelumnya dilaporkan H. Bataya melalui posko pengaduan di lantai 1 kantor walikota, serta aplikasi JAKI terkait dugaan pelanggaran Hukum Perlindungan Konsumen, Peraturan Gubernur (Pergub) DKJ Jakarta No. 70 Tahun 2021, dan Anggaran Dasar MGR.2.
Terima kasih atas tindak lanjut aduan warga ke Walikota Jakarta Barat , sehingga bisa terus punya harapan perbaikan.
Menurut H. Bataya, jalannya mediasi dinilai tidak memenuhi asas keadilan. “Saya sebagai pelapor hanya diberikan satu suara, sedangkan pihak terlapor diwakili oleh empat orang. Padahal dalam undangan resmi hanya dua yang diundang, dan ironisnya mereka pun tidak hadir langsung dan diwakilkan tanpa surat kuasa,” ujar Bataya.
Ia juga mengkritik moderator dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Jakarta Barat yang dinilai tidak netral dan kurang memahami dasar hukum terkait rumah susun. “Saya malah harus dua kali menjelaskan isi Pergub dan Anggaran Dasar kepada moderator, seharusnya itu menjadi acuan utama dalam proses mediasi,” tambahnya.
H. Bataya menyoroti bahwa banyak aduan dan surat resmi dari warga kepada P3SRS dan pengelola yang tidak direspons. Hal ini menurutnya menunjukkan ketidak sungguhan mereka dalam menyelesaikan permasalahan dan buruknya kualitas komunikasi.
Ia juga menyampaikan kekecewaannya karena pengelola masih menggunakan house rules dari tahun 2007 sebagai dasar kebijakan sampai di saat H.Bataya protes (th 2024) , padahal pada masa itu P3SRS MGR.2 belum terbentuk. Ia menilai hal ini sebagai bentuk mal-administrasi serius. “Bahkan ada kasus warga yang sudah melunasi air dan listrik, tapi suplai air tetap diputus. Ini pelanggaran langsung terhadap Pasal 102C PerGub 70/2021, dan sanksi pelanggarannya ada di ayat 6. Ketua rapat mengetahui pelanggaran ini, namun tidak membahas sanksi tersebut atau kompensasi apa bagi korban ”, tegasnya.
Menurutnya, lemahnya pengawasan dan tidak adanya sanksi tegas dari pemerintah membuat pelanggaran berulang dan tidak pernah tuntas.
Ia pun menyampaikan berbagai praktik yang bisa terjadi di berbagai rumah susun, antara lain :
-Masa kontrak pengelola yang melebihi ketentuan;
-Rapat Umum Tahunan (RUTA) yang tidak digelar sesuai Pergub yang berlaku ;
-Ketertutupan pengelolaan administrasi parkir;
-Intervensi pengembang dalam P3SRS;
-Praktik intimidasi terhadap warga;
-Surat pernyataan bermaterai yang dipaksakan;
-Laporan keuangan audit yang terlambat;
-Hingga dugaan pembiaran praktik ilegal seperti prostitusi, narkoba, dan lainnya.
-Regulasi penyaluran listrik dan air yang tidak langsung ke pemerintah.
H. Bataya menegaskan bahwa proses mediasi gagal bukan hanya karena substansi yang tak diselesaikan, tetapi juga karena sikap pihak terlapor yang tidak profesional. “Saya datang 30 menit sebelum rapat, sementara mereka terlambat hampir satu jam. Ini tidak menghormati aparat pemerintah dan mempersingkat waktu rapat ” , tandasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menyampaikan bahwa warga apartemen tidak hanya menuntut hak perlindungan konsumen, tetapi juga meminta pemerintah daerah untuk hadir secara nyata dalam pengawasan dan penegakan aturan (Pergub), bukan sekadar menjadi fasilitator yang pasif ke pihak P3SRS dan pengelola, sehingga upaya solusi kembali menemui jalan buntu.
(Red/Tim)