Semarang, Jawa Tengah — Tantangan backlog perumahan nasional yang terus meningkat tidak lagi dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional. Di tengah kebuntuan, sebuah model kolaboratif bernama ABCG (Academics–Business–Community–Government) muncul sebagai terobosan baru (22/11/2025). Model ini bukan sekadar konsep, melainkan gerakan nyata yang didorong oleh tiga tokoh lintas sektor: M. Aditya Prabowo, Dr. Ing. Asnawi Manaf, dan Agung Novianto.
Ketiganya menyatukan empat kekuatan utama—akademisi, pelaku bisnis, komunitas, serta pemerintah—ke dalam satu meja dialog untuk menghadirkan solusi perumahan yang lebih aplikatif, inklusif, dan berkelanjutan.
M. Aditya Prabowo, yang berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan pembuat kebijakan, menegaskan pentingnya mendengar suara warga sebagai pijakan awal pembangunan.
“Pembangunan perumahan harus dimulai dari mendengar, bukan langsung dari gambar. Suara warga adalah fondasinya,” ujarnya dalam sebuah diskusi terbatas.
Dari sisi akademis, Dr. Ing. Asnawi Manaf mendorong penggunaan pendekatan ilmiah yang relevan dengan kebutuhan lapangan.
“Solusi ideal harus menyatu: teknologi tepat guna, lingkungan sehat, dan masyarakat yang terlibat aktif. Kampus harus ikut turun tangan, bukan sekadar memberi teori,” tegasnya. Ia menekankan bahwa riset dan data menjadi pilar penting dalam mewujudkan hunian partisipatif.
Sementara itu, implementasi konsep ini diterjemahkan oleh Agung Novianto melalui berbagai program inovatif seperti CIJI. Pendekatan co-creation menjadi inti dari upaya tersebut.
“Ini bukan sekadar membangun rumah, tetapi merajut kembali relasi sosial dalam satu ruang hidup,” jelas Agung, menyoroti pentingnya kolaborasi multipihak dalam membangun kawasan yang lebih manusiawi.
Mengapa Model ABCG Mendesak Diterapkan?
Model ABCG dianggap relevan dan mendesak karena beberapa alasan krusial:
1. Backlog perumahan yang mencapai jutaan unit mustahil ditangani oleh satu sektor saja.
2. Masyarakat modern semakin kritis dan ingin terlibat dalam pembentukan lingkungan tempat tinggalnya.
3. Pendekatan lama sering kali kaku dan kurang adaptif terhadap kebutuhan tiap wilayah.
Sinergi ABCG yang digelorakan oleh ketiga tokoh ini membuktikan bahwa kolaborasi multipihak bukan lagi utopia. Dengan menggabungkan kepakaran, sumber daya, dan aspirasi warga, lahirlah paradigma baru: hunian yang tidak hanya layak, tetapi juga memiliki jiwa, berkelanjutan, serta dibangun dari, oleh, dan untuk komunitasnya.
Langkah mereka menandai babak baru dalam upaya membangun masa depan perumahan Indonesia yang lebih inklusif, inovatif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat.
(red/Ilham)



















