Jakarta, 6 Agustus 2025 – Dalam sebuah negara hukum yang menganut asas demokrasi seperti Indonesia, hukum seharusnya menjadi panglima tertinggi. Namun, dalam praktiknya, proses pembentukan hukum melalui lembaga legislatif dan eksekutif kerap bersinggungan dengan kepentingan politik. Akibatnya, terjadi tarik menarik kepentingan antara hukum dan politik untuk menentukan siapa yang benar-benar memegang supremasi.
Pemerintah telah menyerahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kepada DPR RI pada 8 Juli 2025. RUU ini dimaksudkan untuk merevisi KUHAP lama (UU No. 8 Tahun 1981) yang dianggap sudah tidak relevan setelah 44 tahun diberlakukan. Rencananya, RUU KUHAP akan disahkan pada Januari 2026.
Namun, pembahasan RUU KUHAP oleh Komisi III DPR RI menuai banyak kritik dari masyarakat. Salah satu penolakan datang dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun (BEM FH UIC) Jakarta.
Ketua BEM FH UIC, Rahmat Djimbula, dalam pernyataan resminya kepada media menyampaikan bahwa proses pembahasan RUU KUHAP dinilai tidak transparan, tergesa-gesa, dan minim partisipasi publik.
“Pembahasan oleh Komisi III DPR RI minim melibatkan publik. Beberapa pasal dalam RUU ini justru memperkuat dominasi aparat penegak hukum, khususnya penyidik kepolisian, dalam sistem peradilan pidana,” ujar Rahmat.
Rahmat juga menilai pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, yang menyebut KUHAP saat ini tidak adil dan perlu segera diganti, merupakan bentuk manipulasi informasi yang menyesatkan publik.
Menurutnya, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP justru memberikan kewenangan berlebih kepada aparat kepolisian, termasuk penangkapan dan penggeledahan tanpa batas waktu serta tanpa izin dari pengadilan negeri.
“Kewenangan yang terlalu luas ini membuka ruang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan asas due process of law. Kepolisian bisa menjadi lembaga superpower yang kebal kontrol,” tegasnya.
BEM FH UIC Jakarta meminta DPR RI untuk meninjau ulang pasal-pasal bermasalah dalam RUU KUHAP serta membuka ruang dialog publik yang inklusif dan partisipatif.
“KUHAP bukan untuk kepentingan aparat semata, tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia. Keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum harus menjadi roh dari setiap pasal yang dibuat,” lanjut Rahmat.
Dalam sejarah demokrasi, lanjutnya, hukum dan politik memang tak bisa sepenuhnya dipisahkan. Namun relasi keduanya harus berjalan seimbang. Ia mengibaratkan hubungan hukum dan politik seperti “dua kekasih yang tidur bersama, di mana politik kerap berada di atas tubuh hukum. Memisahkan keduanya seperti mencoba memisahkan gula dari kopi yang sudah diaduk.”