Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Iklan 728x250
APOLEKSOSBUD

Polemik Polisi di Jabatan Sipil: Putusan MK Final, Mengapa Pemerintah Masih Bingung?

67
×

Polemik Polisi di Jabatan Sipil: Putusan MK Final, Mengapa Pemerintah Masih Bingung?

Sebarkan artikel ini
Iklan 468x60

JAKARTA,- Pertentangan sikap di tubuh pemerintah kembali mencuat setelah Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebut bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tentang larangan polisi aktif menjabat posisi sipil “tidak berlaku surut” dan tidak mewajibkan pejabat Polri yang sudah terlanjur berada di jabatan sipil untuk mundur. Padahal, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sebelumnya menyatakan bahwa semua polisi aktif harus segera meninggalkan jabatan sipil sesuai perintah MK. Dua pernyataan yang saling berseberangan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa negara tampak bingung menjalankan konstitusi sendiri?

Polemik bermula ketika MK memutus bahwa anggota Polri aktif dilarang menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dini. Putusan ini mencabut celah hukum yang selama bertahun-tahun memberi ruang bagi perwira Polri duduk di kursi strategis kementerian dan lembaga non-polisi, sebuah praktik yang dikritik karena melemahkan batas sipil–kepolisian.

Iklan 300x600

Mensesneg Prasetyo Hadi secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tunduk penuh pada putusan MK. Ia meminta pejabat Polri aktif yang kini berada di jabatan sipil untuk segera mundur. Sikap ini dipandang sebagai langkah konstitusional yang tepat karena menegaskan bahwa eksekutif tidak bisa berada di luar putusan lembaga yudikatif.

Baca Juga :  Aksi Terkait Penolakan Calon PJ Bupati Konawe Berbuntut Panjang.

Namun pernyataan Menkumham Supratman Andi Agtas memunculkan tafsir berbeda dengan menyebut pejabat Polri aktif yang sudah terlanjur menjabat “tidak wajib mundur saat ini”. Pernyataan itu langsung dikritik. Direktur LBH KCB, Ari Azhari, menyebut tafsir Menkum berpotensi menyesatkan publik. “Ini bukan soal retroaktif atau tidak. Begitu MK memutus, norma berubah. Polisi aktif tidak punya dasar hukum lagi untuk tetap menjabat,” ujar Ari, kepada awak media, Rabu (17/11/2025).

Dalam tradisi hukum tata negara, putusan MK memang tidak berlaku surut terhadap tindakan lampau. Namun sejak menit putusan itu dibacakan, norma yang dibatalkan langsung kehilangan kekuatan mengikat. Pejabat yang masih menjabat di bawah norma lama wajib menyesuaikan diri, bukan diberi perlindungan atas jabatan yang tidak lagi memiliki dasar konstitusional.

Karena itu, penjelasan Menkum dipandang berpotensi mengaburkan posisi hukum pejabat Polri aktif yang sekarang masih menjabat sipil. Bila dibiarkan, negara justru memberi ruang bagi multi-tafsir, yang pada akhirnya melemahkan efektivitas putusan MK sebagai puncak koreksi konstitusional. Dua suara pemerintah ini membuat pelaksanaan putusan terhambat oleh kebingungan birokrasi.

Baca Juga :  Bastille Day 2025: Momentum Penguatan Kemitraan Ekonomi Kreatif Indonesia - Prancis

Situasi ini ikut menyeret institusi Polri ke dalam ketidakpastian. Tanpa arahan tunggal dari Presiden, Polri berada dalam posisi serba sulit. “Polri justru akan dirugikan jika pemerintah tidak memberikan satu komando. Mereka bisa dianggap tidak patuh padahal instruksinya sendiri tidak seragam,” kata Ari Azhari menyoroti risiko kerusakan reputasi kepatuhan institusi.

Publik pun menuntut kepastian. Jabatan sipil adalah jabatan administrasi negara yang menuntut legalitas sempurna. Pejabat yang posisinya berubah menjadi tidak sah setelah putusan MK berpotensi memunculkan gugatan dan membatalkan keputusan administrasi yang telah mereka keluarkan. Ini merupakan situasi yang tidak boleh dibiarkan oleh negara.

Sementara itu, revisi UU Polri yang tengah disiapkan pemerintah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda implementasi putusan MK. Revisi undang-undang adalah proses politik jangka panjang, sedangkan putusan MK adalah perintah yang berlaku hari ini. “Jangan campur-adukkan proses legislasi dengan kewajiban konstitusional. Pelaksanaan putusan MK tidak menunggu revisi UU,” tegas Ari.

Baca Juga :  NGABUBURIT BUKA PUASA ANAK YATIM BERSAMA POLRES METRO BEKASI KOTA

Kebingungan ini harus diakhiri melalui sikap resmi dari Presiden. Tanpa penegasan tunggal, instansi seperti Polri, KemenPAN-RB, Setneg, dan kementerian pengguna jabatan sipil akan terus berjalan dengan versi kebijakan yang berbeda-beda. Publik berhak mendapat kepastian bahwa pemerintah berdiri pada satu garis jelas: patuh pada MK.

Putusan MK adalah representasi suara konstitusi. Bila pemerintah sendiri tampak ragu mengeksekusi putusan tersebut, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum turut dipertaruhkan. “Negara tidak boleh mengirim dua pesan. Putusan MK final, dan pejabat Polri aktif wajib mundur dari jabatan sipil. Ini bukan opini ini perintah konstitusi,” tutup Ari.

CATATAN REDAKSI

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau
keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email:
detikdjakartaofficial@gmail.com.
_______________________

Iklan 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!