Jakarta,- Delapan puluh tahun sudah listrik menjadi denyut kemajuan Indonesia. Hari Listrik Nasional (HLN) ke-80 bukan sekadar momen seremonial, tapi ajakan untuk menyalakan kembali makna energi bukan hanya sebagai sumber daya, tapi sebagai nyawa peradaban yang menggerakkan kehidupan modern bangsa.
Di tengah semangat transisi menuju energi bersih, sektor ketenagalistrikan kini menghadapi dua tantangan: menjaga keandalan pasokan dan memastikan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah, industri, dan masyarakat punya peran masing-masing agar nyala listrik tak hanya menerangi ruang, tapi juga memberi arah pada masa depan energi nasional.
Romadhon Jasn, Ketua Gagas Nusantara, menilai HLN ke-80 adalah saat yang tepat untuk menegaskan kembali tanggung jawab moral di balik pembangunan sektor listrik. Menurutnya, listrik harus dipahami lebih dari sekadar angka produksi atau kapasitas megawatt. Energi adalah instrumen pemerataan, bukan sekadar komoditas ekonomi.
“Listrik adalah cermin keberadaban, bukan sekadar fasilitas. Setiap kilowatt yang dihasilkan mestinya membawa manfaat sosial dan membuka kesempatan bagi masyarakat yang belum tersentuh pembangunan,” ujar Romadhon Jasn, Jumat (7/11).
Ia mengingatkan bahwa pemerataan energi tidak bisa hanya diukur dari jumlah gardu atau jaringan. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana listrik mengubah kualitas hidup: memberi ruang belajar bagi anak di pelosok, menggerakkan usaha kecil, dan menyalakan kreativitas di desa-desa yang baru tersambung listrik.
“Ketika listrik hadir, seharusnya peradaban ikut tumbuh. Energi yang adil itu bukan yang terang di kota dan redup di pelosok, tapi yang mampu menggerakkan semua lapisan bangsa secara setara,” kata Romadhon Jasn, menekankan pentingnya keadilan energi sebagai pilar kemajuan.
Romadhon juga menyoroti bahwa momentum HLN ke-80 seharusnya menjadi refleksi kebijakan. Pemerintah dinilai telah menunjukkan arah positif dalam memperluas akses listrik hingga ke wilayah 3T dan meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT). Namun, langkah ini perlu diiringi transparansi dan pengawasan publik agar keberlanjutan benar-benar terwujud.
“Transisi energi harus dikelola dengan kejujuran kebijakan, bukan sekadar jargon hijau. Rakyat punya hak atas energi bersih yang terjangkau, bukan hanya mendengar wacananya di panggung peringatan,” ujar Romadhon Jasn.
Ia menutup dengan pesan sederhana tapi bermakna. “Mari jadikan listrik bukan cuma terang di kabel dan tiang, tapi harapan di kepala dan hati rakyat. Karena dari cahaya itulah bangsa ini belajar berdiri, bekerja, dan bermimpi,” kata Romadhon Jasn di akhir pernyataannya.


















