Jakarta || Dugaan rangkap jabatan yang melibatkan Herry Asiku, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara sekaligus Ketua DPD Partai Golkar Sultra, kembali menimbulkan gelombang kritik publik.
Pasalnya, politisi senior tersebut diduga tercatat sebagai Komisaris di empat perusahaan tambang, yakni PT Sinar Jaya Sultra Utama (SJSU), PT Konut Jaya Mineral (KJM), PT Putra Konawe Utama (PKU), dan PT Konaweeha Makmur (KM).
Fakta mencengangkan ini terungkap dari hasil penelusuran data resmi Mineral One Data Indonesia (MODI) milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang mencantumkan nama Herry Asiku dalam jajaran kepengurusan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Mahasiswa Independen (EMI) Indonesia, Salfin Tebara, menilai bahwa tindakan Herry Asiku tidak hanya mencederai etika publik, namun juga melanggar Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara tegas melarang penyelenggara negara merangkap jabatan di perusahaan swasta.
“Ini bukan hanya soal moralitas pejabat publik, tapi pelanggaran serius terhadap prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari konflik kepentingan. Seorang Wakil Ketua DPRD seharusnya menjadi pengawas jalannya pemerintahan dan pengelolaan sumber daya daerah, bukan justru menjadi bagian dari korporasi tambang,” tegas Salfin Tebara dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (16/10/2025).
Lebih lanjut, Salfin menyebut bahwa keterlibatan seorang pejabat tinggi legislatif dalam bisnis tambang merupakan bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
“Bagaimana rakyat bisa berharap keadilan lingkungan dan transparansi tambang, jika wakil mereka justru ikut duduk di kursi kekuasaan perusahaan yang mengeruk sumber daya daerah?” ujarnya.
Menurut EMI Indonesia, posisi strategis Herry Asiku sebagai pimpinan DPRD sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang bisa berimbas pada lemahnya pengawasan, keberpihakan kebijakan, hingga praktik penyalahgunaan wewenang.
“Hukum akan kehilangan wibawa jika pelaku pelanggaran justru berasal dari lembaga legislatif. Ini preseden buruk bagi demokrasi daerah,” sambungnya.
Menurutnya, Tiga dari empat perusahaan tersebut diduga bermasalah, seperti PT SJSU, PT KJM dan PT PKU sehingga konflik kepentingan dan pelanggaran hukum jelas adanya.
EMI Indonesia juga menyebut bahwa dugaan rangkap jabatan ini berpotensi melanggar kode etik DPRD serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Salfin menegaskan, pihaknya akan segera melayangkan laporan resmi ke Kejaksaan Agung RI, Komisi III DPR RI, dan Badan Kehormatan DPRD Sultra untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan Herry Asiku dalam bisnis pertambangan tersebut.
“Sudah saatnya Kejaksaan Agung turun tangan. Kami tidak ingin wakil rakyat di Sultra menjadikan jabatannya sebagai tameng bisnis kotor. Kalau terbukti, Herry Asiku harus dicopot dan diproses hukum tanpa pandang bulu,” pungkasnya.
Selain itu, EMI Indonesia juga menyerukan agar Kementerian ESDM dan KPK turut melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh perusahaan yang mencantumkan nama pejabat publik dalam struktur kepengurusan mereka.
“Ini momentum membersihkan parlemen daerah dari mafia tambang yang berselimut politik. Rakyat Sultra berhak tahu siapa sebenarnya yang bermain di balik kerusakan lingkungan dan eksploitasi tambang yang selama ini terjadi,” tutup Salfin tegas.