JAKARTA — Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menegaskan bahwa pihak kepolisian hanya menangkap pelaku perusakan dan pembakaran fasilitas umum dalam kerusuhan akhir Agustus lalu. Ia menekankan, mereka yang ditahan bukanlah pengunjuk rasa yang menyampaikan aspirasi secara damai, melainkan perusuh yang terbukti melakukan tindak kriminal. Langkah ini dipandang penting untuk meluruskan persepsi publik agar tidak ada keraguan bahwa Polri mengkriminalisasi aksi demonstrasi.
Pernyataan itu disampaikan Irjen Asep Edi usai mengumumkan penahanan 16 tersangka di empat lokasi berbeda. Para tersangka diduga terlibat dalam perusakan halte Transjakarta, pembakaran fasilitas publik, serta penyerangan terhadap sejumlah aset negara. Kapolda juga menegaskan penindakan ini merupakan tindak lanjut atas instruksi Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menekankan pentingnya menjaga ketertiban umum dan melindungi hak masyarakat luas.
Langkah kepolisian ini sekaligus menjadi sinyal bahwa negara tetap membedakan antara unjuk rasa damai dengan aksi anarkistis. Demonstrasi yang berjalan sesuai prosedur dan tertib tetap dilindungi oleh undang-undang. Namun, tindakan yang merusak fasilitas umum dan mengancam keselamatan warga tidak bisa ditoleransi. Polri menyampaikan, pengamanan ke depan akan lebih tegas sekaligus transparan, untuk memastikan aspirasi masyarakat tetap terjaga tanpa mengorbankan ketertiban umum.
Meski demikian, sejumlah pihak menilai Polri perlu memperjelas kriteria siapa yang disebut sebagai perusuh, agar tidak menimbulkan multitafsir. Data mengenai barang bukti, rekaman peristiwa, dan kronologi harus dibuka secara proporsional demi menjaga kepercayaan publik. Dalam konteks inilah, Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) menyatakan apresiasinya atas langkah Kapolda Metro Jaya, sekaligus mendorong Polri menjaga konsistensi komunikasi publik yang jernih.
“Pernyataan Kapolda Metro Jaya sudah tepat untuk membedakan pendemo dengan perusuh. Namun, masyarakat juga berhak mendapatkan kepastian data dan fakta agar tidak ada keraguan sedikit pun. Transparansi adalah kunci agar publik tetap percaya dan tidak mudah terhasut isu adu domba,” kata Romadhon Jasn, Ketua JAN, Senin (15/9/2025).
Lebih jauh, JAN menilai Polri telah menunjukkan komitmen awal untuk melindungi hak demokratis warga negara. Meski begitu, setiap tindakan penegakan hukum tetap harus dijalankan dengan standar profesionalisme dan akuntabilitas yang tinggi. Dengan begitu, proses hukum terhadap 16 tersangka benar-benar mencerminkan keadilan, bukan hanya sekadar respons cepat atas tekanan situasi.
“Polri harus konsisten membuktikan bahwa tindakan yang diambil bukan represif, melainkan proporsional terhadap pelanggaran hukum yang nyata. Jika hal ini bisa ditunjukkan, maka kepercayaan publik akan semakin menguat, bahkan di tengah suasana sosial politik yang memanas,” ujar Romadhon Jasn.
JAN juga mengingatkan bahwa kerusuhan tidak boleh dimaknai sebagai representasi seluruh gerakan sosial. Aspirasi yang disuarakan secara damai harus dipisahkan dari tindakan provokatif segelintir pihak. Menurut JAN, jika Polri mampu menjaga garis demarkasi ini, maka stabilitas nasional akan tetap terpelihara tanpa harus mengorbankan ruang demokrasi.
“Kita harus waspada pada upaya adu domba. Kerusuhan akhir Agustus tidak boleh dijadikan alasan untuk membungkam suara rakyat. Justru ini momentum bagi Polri dan masyarakat untuk bersatu, menolak provokasi, dan memperkuat demokrasi yang sehat,” tutur Romadhon Jasn.
JAN menekankan pentingnya kolaborasi antara aparat keamanan dan masyarakat sipil untuk melawan narasi negatif. Dengan komunikasi terbuka, penguatan edukasi publik, dan penegakan hukum yang berkeadilan, kepercayaan terhadap Polri dapat dipulihkan sekaligus diperkuat. “Kami yakin, Polri yang transparan dan humanis akan selalu mendapat dukungan rakyat,” pungkas Romadhon Jasn.