JAKARTA — Publik ibu kota kembali dibuat geleng kepala. Ketika harga pangan terus merangkak naik dan biaya hidup di Jakarta makin menekan, anggota DPRD DKI justru menikmati tunjangan rumah jumbo: Rp70,4 juta per bulan untuk anggota, dan Rp78,8 juta untuk pimpinan. Angka itu bahkan lebih tinggi dibandingkan DPR RI, yang “hanya” Rp50 juta per bulan.
Alasan yang berulang pun kembali disodorkan: harga rumah di Jakarta mahal, fasilitas rumah dinas terbatas, dan tunjangan disebut sebagai kompensasi wajar. Namun publik keburu sinis, mempertanyakan di mana rasa empati wakil rakyat. Rakyat kecil saja harus mengais tambahan kontrakan, sementara dewan bergelimang tunjangan.
Fakta bahwa DPR RI saja sudah memutuskan untuk menghentikan tunjangan serupa karena gelombang protes publik, seharusnya menjadi peringatan keras bagi DPRD DKI. “Kalau DPRD DKI tidak transparan, tunjangan yang ramai di publik ini harus dihentikan juga,” tegas Presidium Jaga Jakarta, Romadhon kepada wartawan, Kamis (4/9/2925)
Kontras makin jelas saat buruh turun ke jalan menuntut upah layak, sopir ojol terlibat insiden dengan rantis ketika demo, sementara gedung dewan tetap berdiri sejuk dengan kursi empuk. Simbol ketidakadilan inilah yang membuat publik semakin sinis: siapa sebenarnya yang mereka wakili, rakyat atau kenyamanan pribadi? Kritik semacam ini kembali ditegaskan Romadhon.
Secara politik, DPRD DKI bermain-main dengan bara api. Publik bisa saja menyalakan protes lebih besar bila merasa dipermainkan. Legitimasi dewan rapuh ketika kompensasi mereka melompat tanpa ada narasi moral yang meyakinkan. “Jangan sampai warga Jakarta harus kembali turun ke jalan hanya karena DPRD tak mau jujur,” ucapnya.
Sampai kini, tak terlihat upaya pertanggungjawaban terbuka. Tidak ada audit independen, tidak ada perbandingan adil dengan standar biaya hidup, dan tidak ada komunikasi yang menyentuh nurani publik. “Yang tampak hanyalah barisan angka di atas kertas, disampaikan datar, dingin, tanpa rasa,” ungkap Romadhon.
Beberapa kalangan menyarankan moratorium tunjangan rumah hingga evaluasi tuntas dilakukan. Ada pula gagasan membentuk komisi independen untuk menakar ulang remunerasi pejabat publik. Namun tanpa keberanian politik, semua usulan hanya akan jadi catatan pinggir.
Pada akhirnya, rakyat menilai wakilnya bukan dari panjangnya pidato atau jumlah rapat, tetapi seberapa kuat mereka menunjukkan solidaritas nyata. “Kalau DPRD DKI Jakarta serius, hentikan dulu tunjangan, audit terbuka, lalu biarkan publik menilai,” tutup Romadhon.
Tunjangan rumah bukan sekadar angka, melainkan simbol jarak antara elit dengan rakyat. Jika jarak itu terus melebar, publik hanya akan melihat dewan yang larut dalam rumah megahnya, sementara warganya terus terjebak dalam kontrakan sempit dan biaya hidup yang mencekik.