Penulis : Munir Sara, M.A.P (Wakil Ketua Umum DPP BMPAN)
Dalam kerangka pemikiran politik modern, tidak ada yang lebih krusial daripada bagaimana suatu generasi membentuk dan mereproduksi pemimpinnya. Max Weber, dalam bukunya Politics as a Vocation (1919), menyatakan bahwa “politik adalah panggilan yang membutuhkan etika tanggung jawab dan etika keyakinan.” (institusi politik yang stabil membutuhkan tiga elemen: kapasitas negara, supremasi hukum, dan akuntabilitas demokratis). Dalam konteks BMPAN, kegiatan kaderisasi bukan hanya memperkuat organisasi, tetapi juga membangun kapasitas kader untuk memahami struktur dan dinamika kekuasaan, dengan basis etika dan kepekaan sosial.
**
BMPAN dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) telahmerumuskan tiga pilar strategis sebagai poros gerakan: kaderisasi yang berkelanjutan, aksi sosial dan advokasi rakyat, serta pendidikan politik yang mencerdaskan.
Ketiganya merupakan metode sekaligus tujuan. Ini bukan hanya slogan normatif, tapi semacam “pedagogi praksis” ala Paulo Freire yang menyebut pendidikan sebagai proses pembebasan(Freire, Pedagogy of the Oppressed, 1970).
BMPAN menolak gagasan kepemimpinan instan. Dalam tradisigerakan sosial, pemimpin adalah produk dari kesadaran, disiplin, dan pengabdian. Dalam hal ini, teori Antonio Gramsci tentang organic intellectuals (Gramsci, Prison Notebooks, 1935) menjadi relevan.
Gramsci menyebut pemuda intelektual organik sebagai mereka yang muncul dari denyut kehidupan rakyat dan memahamiaspirasi rakyat, bukan dari menara gading elite. BMPAN melaluiperkemahan kaderisasi menciptakan ruang ini: untuk mendidik pemimpin masa depan yang lahir dari tanah rakyat dan memiliki keberanian untuk berpikir dan bertindak.
Dalam atmosfer politik yang seringkali elitis dan eksklusif, BMPAN membawa kader-kadernya kembali ke akar: kampung, jalanan, dan ruang-ruang sunyi penderitaan rakyat. Aksi sosial bukanlah charity, tapi advokasi; bukan donasi, tapi transformasi.
Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) menyebuttindakan (action) sebagai wujud eksistensi politik tertinggi manusia. Maka aksi BMPAN di pelosok Sentul-Bogor adalah bentuk eksistensi politik paling otentik yang dimiliki anak muda: hadir, mendengar, dan bergerak bersama rakyat.
Di tengah degradasi diskursus publik, pendidikan politik menjadi benteng terakhir. Politik yang cerdas tidak tumbuh di ruang gelap transaksionalisme. BMPAN menghadirkan ruang-ruang diskusi, pelatihan, dan forum dialogis.
Ini adalah langkah menuju civic literacy atau kecerdasan kewargaan. John Dewey dalam Democracy and Education(1916) mengatakan, “Pendidikan adalah proses demokratisasidiri.” BMPAN menghidupkan proses ini dalam skala mikro—dimulai dari kader.
BMPAN dan Masa Depan Gerakan Politik di Indonesia
Keberadaan BMPAN sejak 1998 menjadi pengecualian dari siklus “muncul dan hilang” organisasi otonom di banyak partaipolitik Indonesia. BMPAN membuktikan bahwa konsistensinilai dan kedisiplinan kaderisasi mampu melahirkan organisasiyang berumur panjang dan adaptif.
Dalam masyarakat yang makin pragmatis dan apatis terhadap politik, gerakan seperti BMPAN menjadi oase. Sebab ia tidak lahir dari ruang steril, melainkan dari keringat dan kerja lapangan.
Rakernas dan Jambore BMPAN 2025 bukan hanya agenda internal. Ini adalah momen refleksi politik nasional, bahwa masa depan bangsa dibentuk oleh organisasi yang menempatkan nilaidi atas kekuasaan, dan proses di atas hasil instan. Dalam spektrum yang lebih luas, kegiatan ini adalah contoh bagaimana pemimpin masa depan harus diproduksi secara sadar, sistematis, dan berorientasi pada rakyat.
Sebagaimana disebutkan oleh Cornel West dalam Democracy Matters (2004): “Demokrasi hanya mungkin jika generasi mudamemiliki keberanian untuk berpikir secara radikal dan bertindaksecara moral.” Rakernas dan Perkemahan Kaderisasi BMPAN bukan sekadar agenda tahunan, melainkan laboratorium pembentukan karakter politik Indonesia ke depan.
BMPAN hadir sebagai ruang kawah candradimuka, tempat di mana politik kembali diletakkan pada tempatnya: bukan alat transaksi, tapi alat emansipasi. Pemimpin tidak lahir karena trah, tapi karena jejak langkahnya di tengah rakyat. Dan di Sentul, jejak itu akan dicetak kembali.