Jakarta, detikj,- Demokrasi Indonesia sedang di ujung tanduk, dirampok oleh elit yang berkhianat pada rakyat! Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) mengecam Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah kehilangan legitimasi moral. Skandal mantan Ketua KPU Hasyim Asy’ari, yang dipecat karena tindakan asusila dan penyalahgunaan fasilitas seperti sewa jet mewah, adalah puncak gunung es dari bobroknya institusi ini. JAN menuntut semua komisioner KPU mundur sekarang juga, karena mereka gagal menjaga amanah rakyat. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi pengkhianatan terhadap demokrasi!
Hasyim Asy’ari bukan penutup cerita, melainkan pembuka tabir. Penyewaan jet untuk kunjungan kerja, tiket pesawat Rp 100 juta ke Belanda, dan tiga mobil dinas bukan sekadar pemborosan, tapi indikasi korupsi sistemik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib turun tangan, memeriksa Hasyim dan semua pihak yang terlibat termasuk Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU, Bernad Dermawan karena kunci dibalik pengadaann fasilitas. Jika KPK diam, mereka sama saja menjadi bagian dari konspirasi melindungi penjahat kerah putih. “JAN menegaskan: KPK harus bertindak dalam 7×24 jam, atau rakyat akan turun ke jalan, mengguncang gedung KPU dan KPK,” tegas Romadhon, Jumat (16/5/2025)
KPU bukan lagi penyelenggara pemilu, tapi mesin politik yang melayani kepentingan elit. Dari soal kandal Hasyim, KPU telah menjadi alat kekuasaan. JAN menuntut KPU berbicara jujur, bongkar semua pelanggaran, dan audit anggaran oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Rakyat berhak tahu bagaimana uang negara dibelanjakan untuk kemewahan para komisioner, sementara rakyat kecil berjuang untuk makan.
JAN merilis sembilan tuntutan untuk menyelamatkan demokrasi:
(1) Wajib Mundur semua komisioner KPU pusat;
(2) Pemeriksaan KPK terhadap mantan ketua KPU Hasyim Asy’ari dan Sekjend KPU atas penyalahgunaan anggaran;
(3) Transparansi total KPU soal anggaran dan keputusan;
(4) Audit menyeluruh anggaran KPU; (5) Penegakan hukum terhadap semua pelaku korupsi di KPU;
(6) Reformasi KPU untuk independensi dan integritas;
(7) Pemberhentian komisioner tidak netral;
(8) Penguatan DKPP untuk sanksi tegas;
(9) Keterlibatan publik dalam pengawasan pemilu. Ini bukan sekadar tuntutan, tapi perintah rakyat!
KPK, yang seharusnya menjadi benteng antikorupsi, kini terlihat seperti macan ompong. Jika KPK tidak segera memeriksa Hasyim mantan ketua KPU dan Komisioner KPU beserta kroni-kroninya, mereka membuktikan diri sebagai pelayan oligarki. JAN menegaskan: KPK wajib bertindak, atau rakyat akan menyeret mereka ke pengadilan jalanan. Tenggat 7×24 jam (sejak jumat 16 mei) bukan ancaman kosong, melainkan janji rakyat yang muak dengan kemunafikan.
Rakyat bukan penutup mata yang bisa dibodohi. Skandal KPU adalah cermin dari demokrasi yang dikhianati. JAN memanggil ribuan rakyat untuk bersiap turun ke jalan, mengepung KPU dan KPK, jika tuntutan ini diabaikan. Ini bukan soal KPU saja, tapi soal harga diri bangsa. Demokrasi bukan milik elit, tapi hak rakyat yang harus direbut kembali.
Kami menolak narasi bahwa ini hanya “kasus pribadi” Hasyim. Ini adalah kegagalan sistemik yang melibatkan komisioner lain yang diam seribu bahasa. KPU harus dibongkar dan dibangun ulang, bukan ditambal sulam. JAN menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat—mahasiswa, buruh, petani—untuk bersatu melawan tirani institusi yang korup.
Waktu terus berjalan. Dalam 168 jam, jika KPU dan KPK tidak bertindak, rakyat akan menjadi hakim. JAN akan memimpin gelombang protes, bukan untuk dialog, tapi untuk menuntut keadilan. Kami tidak akan mundur, karena demokrasi bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Jaringan Aktivis Nusantara menyerukan: Bangkit, rakyat Indonesia! Jangan biarkan demokrasi dirampok oleh pengkhianat. Kami tunggu jawaban KPU dan KPK, atau bersiaplah menghadapi amuk rakyat di jalanan!