Jakarta || Eksekutif Jaringan Mahasiswa Hukum Indonesia (EKS-JMH Indonesia) mendesak aparat penegak hukum segera memeriksa Wakil Bupati Kolaka terkait dugaan keterlibatannya dalam struktur perusahaan tambang PT Mulia Makmur Perkasa (MMP).
Ketua DPP EKS-JMH Indonesia, Akbar Rasyid, menegaskan bahwa rangkap jabatan pejabat publik di perusahaan swasta merupakan bentuk pelanggaran serius.
“Keterlibatan pejabat negara dalam perusahaan, apalagi di sektor tambang yang sarat konflik kepentingan, adalah cermin penyalahgunaan jabatan,” kata Akbar dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (3/10).
Selain mendorong proses hukum, EKS-JMH juga mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengambil langkah tegas berupa pemberhentian Husmaluddin dari jabatannya sebagai wakil bupati Kolaka.
Larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara bukan tanpa dasar. Pasal 76 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang “merangkap sebagai pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara.”
Tidak hanya itu, Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menekankan larangan bagi pejabat pemerintahan untuk mengambil keputusan atau tindakan jika memiliki benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang dimaksud mencakup keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kepemilikan atau jabatan dalam sebuah perusahaan.
Akbar menyebut, dugaan rangkap jabatan ini memperlihatkan potensi konflik kepentingan yang bisa menggerus integritas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Bagaimana mungkin seorang pejabat publik bisa bersikap netral dalam mengambil kebijakan jika ia juga menjadi bagian dari perusahaan yang berkepentingan di sektor yang sama?” ujarnya.
EKS-JMH menilai, dugaan keterlibatan Wabup Kolaka di tubuh PT MMP bukan sekadar persoalan etika, melainkan juga pelanggaran hukum yang bisa berdampak pada legitimasi kebijakan daerah. Oleh sebab itu, organisasi ini meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, hingga Kepolisian untuk turun tangan memeriksa dugaan rangkap jabatan tersebut.
“Jika benar wabup Kolaka terlibat sebagai komisaris atau pemegang jabatan lain di PT MMP, maka selain melanggar UU Pemerintahan Daerah, ia juga patut diperiksa atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dapat dijerat dengan UU Tipikor,” tegas Akbar.
EKS-JMH menilai, kasus ini sekaligus menjadi ujian bagi Kemendagri dalam menegakkan aturan mengenai larangan rangkap jabatan pejabat daerah. Pasal 78 ayat (2) huruf e UU Pemerintahan Daerah bahkan mengatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diberhentikan karena melanggar larangan rangkap jabatan.
“Kami menuntut Kemendagri segera memproses pemberhentian Wabup Kolaka jika terbukti terlibat. Jangan sampai Kemendagri terkesan menutup mata terhadap pelanggaran terang benderang ini,” kata Akbar.
EKS-JMH menutup pernyataan resminya dengan menegaskan bahwa praktik rangkap jabatan adalah wajah buruk birokrasi daerah yang harus dihentikan.
“Ini bukan sekadar soal hukum, tetapi juga soal moral dan kepercayaan publik. Jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan di Indonesia.”Tutupnya.