Jakarta, detikj – Kepercayaan publik terhadap Polri kembali menguat berdasarkan Survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pekan lalu. Sebanyak 67,4 persen responden menyatakan puas dengan kinerja Polri dalam memberantas premanisme, sementara 50,7 persen publik menyadari langsung kehadiran operasi penegakan hukum lewat berbagai kanal pelaporan cepat seperti nomor 110 dan aplikasi media sosial resmi .
Survei itu juga mengungkap bahwa penggunaan media sosial—mulai dari live streaming patroli, pengumuman razia secara real time, hingga dashboard transparansi anggaran elektronik—menjadi faktor utama yang membuat publik semakin yakin bahwa Polri Presisi benar‑benar hadir di tengah masyarakat. Keterbukaan data dan penjelasan prosedur di kanal digital dianggap memudahkan warga mengikuti perkembangan penanganan kasus kejahatan jalanan.
Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) sebagai penyelenggara kegiatan ini menyelenggarakan Diskusi Publik “Mengembalikan Kepercayaan Publik: Transparansi Polri di Era Media Sosial” di Jakarta pada Jumat (30/5/2025). Diskusi dihadiri perwakilan BEM Jakarta, aktivis antikorupsi, dan pegiat media sosial untuk membedah praktik transparansi Polri serta rekomendasi kebijakan ke depan.
Dalam sesi isu pertama, para peserta menyoroti kecepatan respons Polri melalui layanan 110 dan chatbot media sosial. Laporan cepat mengurangi ruang gerak preman dan memicu efek jera. Fakta bahwa ribuan laporan diterima dan ditindaklanjuti dalam hitungan jam menjadi bukti kekuatan digital untuk mendekatkan aparat dengan warga.
Selanjutnya, isu publikasi hasil operasi melalui kanal resmi menjadi sorotan kedua. Pelaporan foto–video penangkapan, laporan perkembangan proses penyelidikan, hingga angka penindakan premanisme secara berkala dianggap membuat masyarakat tidak lagi menunggu kabar lewat berita sampingan, tapi dapat memantau sendiri di gadget masing‑masing.
Perwakilan BEM Jakarta menegaskan pentingnya integrasi data antara Polda dan Polres dengan media sosial. “Mahasiswa butuh transparansi utuh, bukan sekadar potongan informasi. Saat data anggaran atau angka penanganan kriminal bisa diakses publik, kita tahu anggaran dipakai untuk apa,” ujar perwakilan BEM.
Seorang aktivis antikorupsi menambahkan bahwa Transparansi Anggaran Polri di portal e‑budgeting harus dihubungkan dengan laporan kegiatan patroli dan operasi, sehingga masyarakat bisa melihat keterkaitan antara dana dan hasil kinerja. “Ini akan menumbuhkan kesadaran bersama bahwa Polri bertanggung jawab atas uang rakyat,” tuturnya.
Pegiat media sosial menyampaikan bahwa strategi konten multimedia—seperti video pendek “Harian Operasi” di Instagram dan TikTok—mendorong lebih banyak warga melaporkan kejadian kriminal. “Kami lihat engagement tinggi ketika Polri pakai bahasa kasual namun jelas. Itu membangun dialog, bukan sekadar monolog institusi,” jelas pegiat.
Sebagian warga yang hadir menyatakan antusias. Seorang ibu rumah tangga dari Jakarta Utara menyebut, “Sekarang saya tidak khawatir lagi lewat gang sempit malam hari. Saya bisa kirim laporan lewat WhatsApp resmi Polri, dan petugas datang cepat.” Pengakuan serupa datang dari pedagang keliling yang merasa lebih aman berjualan.
Warga lainnya, pemilik warung kecil di Depok, menambahkan, “Transparansi itu penting. Kalau saya tahu berapa anggaran untuk patroli malam di wilayah saya, saya merasa dilibatkan. Kepercayaan itu tumbuh dari saling terbuka.” Pernyataan ini menegaskan harapan publik agar Polri terus menjaga transparansi.
Diskusi Publik ini menghasilkan beberapa rekomendasi:
1. Perluasan dashboard publik yang menampilkan angka penindakan kriminal harian.
2. Penguatan kanal aduan media sosial dengan jaminan tindak lanjut maksimal 24 jam.
3. Integrasi e‑budgeting dan laporan operasi untuk transparansi anggaran.
4. Peningkatan literasi digital masyarakat agar laporan kriminalitas kian akurat.
Jaringan Aktivis Nusantara akan meneruskan hasil diskusi ini kepada Mabes Polri dan Komisi III DPR RI sebagai masukan konkret untuk memperkuat kebijakan Polri Presisi. Dengan kolaborasi masyarakat dan institusi, kepercayaan publik di era media sosial diharapkan tidak hanya meningkat, tetapi menjadi fondasi demokrasi yang kokoh.