Jakarta — Pemerintah tengah menghadapi pilihan kebijakan penting terkait fenomena sumur rakyat: lubang bor minyak yang dikelola komunitas atau individu di berbagai daerah yang selama ini beroperasi di luar kerangka regulasi formal. Perdebatan terbaru menyorot upaya menata praktik ini agar memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat tanpa mengorbankan keselamatan, lingkungan, dan penerimaan negara.
Isu menjadi lebih mendesak karena model sumur rakyat muncul di banyak wilayah penghasil hidrokarbon, dan pemerintah membuka ruang untuk legalisasi atau skema kemitraan tertentu—misalnya lewat kerja sama dengan BUMD atau koperasi lokal—sebagai jalan tengah antara pelarangan total dan pembiaran. Rencana ini dimaksudkan untuk memberdayakan komunitas sekaligus mengoptimalkan kontribusi terhadap perekonomian nasional.
Di level praktis, para pendukung legalisasi menyorot manfaat ekonomi langsung: peningkatan pendapatan rumah tangga, multiplikasi usaha lokal, dan peluang untuk penyerapan tenaga kerja di daerah terpencil. Namun lawan argumen mengingatkan risiko besar—kualitas pengeboran yang rendah, potensi tumpahan, pencemaran air tanah, keselamatan pekerja, serta hilangnya penerimaan negara bila produksi tidak tercatat secara resmi.
“Sumur rakyat adalah fenomena nyata yang tak bisa diabaikan. Tapi kita harus berhati-hati: legalisasi tanpa mekanisme pengawasan akan membuka celah kebocoran penerimaan dan risiko lingkungan,” kata Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, Minggu (10/8). Ia menekankan pentingnya kerangka kerja yang mengikat, bukan hanya legitimasi administratif semata.
Dari sisi kebijakan, beberapa usulan yang muncul adalah: (1) mekanisme lisensi sederhana untuk kelompok koperasi atau BUMD; (2) kewajiban pencatatan produksi dan penerapan pita pelaporan bagi sumur scaled-down; (3) program pelatihan teknis dan sertifikasi keselamatan; serta (4) skema pembagian hasil yang transparan sehingga komunitas lokal mendapat bagian tanpa menghilangkan pungutan negara.
Namun implementasi bukan tanpa hambatan. Kementerian ESDM, aparat daerah, dan regulator perlu menyiapkan kapasitas inspeksi, sistem registrasi digital, dan standar teknis yang realistis untuk pengeboran kecil. Di banyak lokasi, infrastruktur pengawasan masih lemah; tanpa peningkatan itu, peta sumur rakyat justru akan menjadi peta kebocoran fiskal dan ancaman lingkungan.
Romadhon menyoroti satu solusi praktis: “Desain kebijakan harus mengedepankan kemitraan formal—misalnya koperasi yang diberi lisensi terbatas dan diawasi secara berkala. Sertifikasi teknis dan audit lingkungan harus menjadi syarat sebelum sumur diizinkan berproduksi,” ujarnya. Menurutnya, model kemitraan juga memudahkan integrasi data ke sistem nasional.
Akademisi dan aktivis lingkungan turut mengingatkan agar kebijakan baru tidak mengabaikan baseline lingkungan: pemetaan geologi, potensi air tanah, dan analisis risiko tumpahan. Regulasi juga perlu mengatur sanksi tegas bagi praktik berbahaya dan mekanisme kompensasi bila terjadi kerusakan lingkungan atau sosial.
Di sisi fiskal, negara harus merancang mekanisme pemungutan yang sederhana namun adil—misalnya retribusi bulanan per sumur plus persentase produksi yang mudah diaudit. Transparansi penerimaan ini penting agar masyarakat melihat manfaat kolektif, bukan hanya keuntungan individu. Pengalaman daerah yang sudah mencoba skema kemitraan dapat menjadi pilot project untuk direplikasi.
Kesimpulannya, sumur rakyat memang menyajikan peluang pemberdayaan ekonomi lokal—tetapi hanya jika dibingkai oleh regulasi yang kuat, pengawasan teknis, dan mekanisme fiskal yang jelas. Tanpa itu, kebijakan yang keliru bisa mengubah potensi sumber penghidupan menjadi masalah lingkungan dan kebocoran negara. Pemerintah dan DPR perlu bergerak cepat menyusun payung hukum yang pragmatis: membuka ruang legal sekaligus menutup celah risiko.