JAKARTA – Klarifikasi resmi dari Management Development Institute of Singapore (MDIS) soal status pendidikan Gibran Rakabuming Raka seharusnya menjadi titik akhir dari polemik panjang yang tidak produktif. Pihak kampus menegaskan bahwa Gibran benar pernah menempuh pendidikan di MDIS, menepis isu yang belakangan ramai di media sosial.
Di tengah masa transisi menuju pelantikan kabinet baru Prabowo–Gibran, isu ijazah itu kembali mencuat dan dimanfaatkan sebagian pihak untuk menyerang personal wakil presiden terpilih. Padahal, informasi yang disebarkan sebagian besar tidak berdasar dan cenderung bernuansa politik. Klarifikasi MDIS sudah cukup untuk menjawab keraguan publik, sekaligus menunjukkan perlunya disiplin informasi di ruang digital.
Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, menilai bahwa kegaduhan ini adalah bentuk kemunduran cara berpikir politik. “Publik seharusnya diajak mengawasi substansi kinerja pemerintahan, bukan terjebak dalam isu yang sudah selesai. MDIS sudah bicara, artinya perdebatan ini tidak lagi relevan,” kata Romadhon kepada awak media, Sabtu (4/10/2025).
Menurutnya, upaya menggiring isu ijazah yang sudah diklarifikasi hanya akan memperkeruh situasi politik dan merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Pemerintahan yang baru seharusnya diberi ruang untuk bekerja, bukan terus diganggu dengan tuduhan tak berdasar. Romadhon menegaskan, perdebatan seperti ini tidak memberi manfaat bagi rakyat dan justru memperdalam polarisasi sosial.
“Rakyat sudah memilih, dan hasilnya harus dihormati. Gibran memiliki legitimasi politik yang sah, dan ia sudah menunjukkan kapasitasnya selama memimpin Solo. Tidak ada alasan untuk terus mencurigai hal-hal yang sudah dibuktikan secara resmi,” ujarnya.
Romadhon juga mengingatkan bahwa penyebaran isu semacam ini berpotensi menjadi alat untuk memecah belah masyarakat. Polarisasi politik yang berkepanjangan hanya akan menghambat agenda pembangunan dan memperlemah solidaritas nasional. Ia menilai, publik harus mulai membangun kesadaran baru: bahwa kritik yang sehat berangkat dari data, bukan dari dugaan atau kebencian politik.
“Pemerintahan Prabowo–Gibran baru akan efektif jika masyarakat berhenti mencari musuh di antara sesama. Tantangan kita jauh lebih besar: kemiskinan, lapangan kerja, dan ketimpangan sosial. Energi bangsa sebaiknya diarahkan ke sana, bukan ke rumor yang tidak terbukti,” tegasnya.
Romadhon menilai, dukungan terhadap Gibran bukanlah soal loyalitas politik, tetapi soal rasionalitas. Gibran, sebagai bagian dari generasi muda, membawa harapan untuk pembaruan di dalam tubuh birokrasi. Ia perlu dikawal secara konstruktif, bukan diserang dengan isu pribadi yang telah terbantahkan.
“Isu ijazah seharusnya ditutup dengan akal sehat. Rakyat menunggu kinerja, bukan drama politik. Mari berhenti mencurigai dan mulai bekerja bersama, karena tantangan ke depan menuntut persatuan, bukan perpecahan,” tutup Romadhon.