Jakarta || Sidang kasus dugaan pencurian ore nikel sebanyak 80 ribu metrik ton di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, terus menyedot perhatian publik. Fakta persidangan terbaru di Pengadilan Negeri (PN) Kendari mengungkap dugaan keterlibatan mantan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Tenggara periode 2019–2020, Irjen Pol. Merdisyam.
Kasus ini bermula sejak tahun 2020, ketika pelapor mengklaim bahwa sekitar 100.000 metrik ton ore nikel miliknya dirampas oleh PT Multi Bumi Sejahtera (MBS) tanpa izin.
Dalam kesaksiannya, pelapor menyebut bahwa proses pengambilan ore tersebut bahkan dikawal oleh personel Brimob bersenjata lengkap. Ia juga mengungkap adanya surat perintah pengawalan yang diduga ditandatangani langsung oleh Kapolda Sultra saat itu, Irjen Pol. Merdisyam.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Mahasiswa Independen (EMI) Indonesia, Salfin Tebara, S.Ap, meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mengambil langkah tegas dan menyeluruh melalui Divisi Propam Mabes Polri.
“Ini bukan sekadar isu biasa. Fakta yang muncul di persidangan sudah cukup menjadi dasar bagi Propam Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan internal. Kami mendesak Kapolri agar memastikan dugaan keterlibatan aparat tidak dibiarkan berlalu tanpa kejelasan,” tegas Salfin Tebara dalam keterangannya, Senin (13/10/2025).
Menurutnya, apabila benar ada keterlibatan mantan pejabat tinggi Polri dalam praktik ilegal pertambangan, hal itu bukan hanya merusak citra institusi, tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat di Sulawesi Tenggara.
“Ini menjadi tantangan moral bagi Kapolri untuk menegaskan komitmen reformasi di tubuh Polri. Tidak boleh ada tebang pilih. Jika benar terbukti terlibat, maka mantan Kapolda tersebut harus diproses secara hukum dan etik,” tambahnya.
EMI Indonesia juga menilai bahwa praktik pengawalan aktivitas tambang tanpa dasar hukum merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik berat dan berpotensi mengarah pada tindak pidana.
Selain itu, EMI Indonesia mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut menelusuri aliran keuntungan dan potensi kerugian negara dalam kasus tersebut.
“KPK dan ESDM harus turun tangan. Kasus tambang seperti ini bukan hanya merugikan masyarakat lokal, tapi juga negara. Ada indikasi kuat keterlibatan oknum yang melindungi praktik-praktik tersebut selama bertahun-tahun,” ujar Salfin.
Sebagai bentuk dorongan publik, EMI Indonesia berencana menggelar aksi unjuk rasa nasional di depan Mabes Polri pada hari Rabu (15/10/2025). Aksi tersebut akan menuntut transparansi, penegakan hukum tanpa pandang bulu, serta sanksi tegas terhadap Irjen Pol. Merdisyam apabila terbukti terlibat.
“Kami akan membawa data dan dokumen hasil pemantauan kasus ini ke Mabes Polri. Polri harus membuktikan bahwa institusinya benar-benar bersih dan berani menindak siapa pun, termasuk mantan pejabatnya sendiri,” tutup Salfin.