Detikdjakarta.com, Jakarta – Sengketa lahan antara Kelompok Tani Usaha Bersama dari Desa Tumbit Melayu, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, dengan perusahaan tambang raksasa PT Berau Coal kembali mencuat ke permukaan. Kelompok tani yang telah mengelola lahan garapan sejak tahun 2000 itu kini menggugat secara hukum atas dugaan pengambilalihan lahan secara sepihak.
Lahan yang disengketakan bukan sekadar tanah kosong. Selama lebih dari dua dekade, anggota kelompok telah menanaminya dengan tanaman produktif seperti kopi, nangka, dan durian, serta mendirikan pondok-pondok pertanian. Bukti kepemilikan berupa Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh pemerintah kampung pada Juli 2000 menjadi dasar klaim kelompok tani. Dokumen tersebut ditandatangani oleh Kepala Kampung saat itu, M. Djahri U., dan Ketua RT setempat, serta disaksikan oleh warga masyarakat.
Namun, gugatan mereka dengan perkara bernomor 43/Pdt.Sus-LH/2024/PN.Tnr diputuskan ditolak oleh Pengadilan Negeri Tanjung Redeb pada 14 Mei 2025.
“Kami kecewa terhadap keputusan hakim. Bukti-bukti yang kami ajukan diabaikan. Bahkan, bukti dari pihak PT Berau Coal yang dijadikan dasar pembelaan patut diduga kuat tidak sah secara hukum,” ujar M. Rafik, juru bicara kelompok tani, dalam orasi di Jakarta.
Langkah hukum pun tak berhenti di pengadilan tingkat pertama. Kelompok Tani Usaha Bersama melanjutkan perjuangan mereka dengan melaporkan dugaan kejanggalan dalam putusan hakim ke Kantor Badan Pengawasan Mahkamah Agung di Jakarta. Langkah ini mereka sebut sebagai upaya terakhir menuntut keadilan dan menegakkan supremasi hukum.
Perjuangan Panjang Melawan Ketimpangan
Kasus ini bukan hanya soal tanah. Bagi kelompok tani, ini adalah perjuangan melawan ketimpangan kekuasaan antara rakyat kecil dan korporasi besar. Tanah yang mereka kelola secara turun-temurun kini berada di bawah ancaman, padahal selama ini lahan tersebut menjadi sumber penghidupan puluhan keluarga.
Kasus ini mendapat perhatian dari sejumlah pemerhati agraria dan aktivis masyarakat sipil. Mereka menyoroti bagaimana konflik agraria di daerah tambang seringkali berakhir merugikan masyarakat lokal yang memiliki sejarah panjang dengan tanah tersebut.
Kelompok tani menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerah. “Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Tanah ini bukan milik perusahaan, tapi hasil keringat kami selama 20 tahun lebih,” tegas Rafik.