Dalam tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), nilai “bertaqwa kepada Allah SWT” bukan sekadar persyaratan administratif dalam proses pemilihan Ketua Cabang. Ia adalah ruh, nilai utama yang melandasi setiap gerak langkah kader HMI. Namun demikian, penting untuk dipahami, bahwa dalam tradisi keorganisasian HMI, nilai ini tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi alat seleksi administratif teknis, apalagi ditafsirkan sewenang-wenang oleh panitia teknis, yakni Steering Committee (SC).
AD/ART HMI secara tegas mengatur batasan peran SC. Dalam ART HMI Pasal 29 ayat (3), dijelaskan bahwa tugas SC adalah mempersiapkan, mengatur, dan melaksanakan teknis jalannya persidangan. Tidak ada satu pun ketentuan yang memberi mereka wewenang untuk menilai moralitas atau ketaqwaan seorang calon. SC adalah fasilitator, bukan penilai spiritualitas.
Syarat “bertaqwa kepada Allah SWT” yang tertulis dalam ART HMI Pasal 30 ayat (1) huruf b adalah syarat substantif yang bersifat prinsipil. Ia adalah norma nilai yang tidak dapat diukur melalui berkas, tidak dapat dinilai dengan checklist administratif, dan tidak dapat diverifikasi melalui prosedur teknis. Taqwa adalah urusan antara hamba dan Tuhannya — bukan sesuatu yang bisa diuji oleh formulir, apalagi oleh persepsi subjektif panitia.
Lebih jauh, AD HMI Pasal 23 menegaskan bahwa Konferensi Cabang adalah forum kekuasaan tertinggi di tingkat Cabang. Ini berarti, semua keputusan penting, termasuk penilaian terhadap pemenuhan syarat calon, harus diputuskan melalui musyawarah dalam forum sidang pleno. SC tidak pernah, dan tidak boleh, mengambil alih wewenang forum. Jika ada keberatan terhadap kelayakan seorang calon, maka mekanismenya adalah melalui forum resmi — lewat hak bertanya, melalui mosi sidang, dan diputuskan bersama.
Dalam hukum organisasi modern, dikenal asas presumptio innocentiae — asas praduga memenuhi syarat. Setiap calon dianggap memenuhi syarat hingga ada keberatan sah yang dibuktikan dalam forum terbuka. Dalam tradisi HMI yang mengedepankan musyawarah, semua perbedaan pendapat harus diselesaikan secara kolektif, bukan melalui keputusan administratif sepihak.
Jika SC tetap menafsirkan sendiri syarat “bertaqwa kepada Allah SWT” dan menggunakannya untuk menggugurkan calon tanpa musyawarah, maka tindakan itu secara prinsip cacat prosedur, melampaui kewenangan, dan bertentangan dengan AD/ART. Keputusan yang lahir dari proses semacam itu bukan hanya tidak sah, melainkan juga mengancam kredibilitas Konfercab itu sendiri.
Lebih berbahaya lagi, membiarkan tafsir subjektif seperti ini berarti membuka pintu bagi ketidakadilan yang lebih luas. Nilai luhur berta qwa yang seharusnya menjadi cahaya perjalanan organisasi, malah direndahkan menjadi alat politik teknis. Ini jelas merupakan penghinaan terhadap nilai keislaman yang dijunjung tinggi oleh HMI.
Oleh sebab itu, dalam rangka menjaga marwah HMI, semua pihak harus menegaskan: Steering Committee harus kembali kepada fungsi dasarnya sebagai fasilitator teknis. Segala bentuk penilaian substantif terhadap syarat calon, termasuk taqwa, wajib diputuskan dalam forum Konfercab melalui mekanisme sidang terbuka.
HMI tidak lahir dari semangat pemutusan sepihak. Ia lahir dari semangat musyawarah, keadilan, dan penghormatan atas hak setiap kader.
Dan pada akhirnya, menjaga prinsip itu adalah menjaga roh perjuangan HMI sendiri.
Ringkasan Landasan Hukumnya:
No Sumber Inti Pokok
1 AD HMI Pasal 23 Konfercab = forum kekuasaan tertinggi
2 ART HMI Pasal 29 ayat (3) Tugas SC = mengatur teknis persidangan, bukan menilai moralitas
3 ART HMI Pasal 30 ayat (1) huruf b Syarat calon: bertaqwa kepada Allah SWT, pernah Ketua Komisariat/Pengurus Cabang
4 Prinsip Presumptio Innocentiae Calon dianggap memenuhi syarat hingga dibuktikan sebaliknya oleh forum