Oleh: Prof. Dr. Nandan Limakrisna
Penempatan dana Rp 200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke sektor perbankan sejak September 2025 sejatinya dimaksudkan untuk memperlonggar likuiditas dan merangsang pertumbuhan kredit. Namun, hingga kini efeknya belum terasa signifikan. Likuiditas perbankan memang melimpah, tetapi kredit tetap berjalan pelan. Fenomena ini menegaskan satu hal: persoalan kredit di Indonesia bukan semata-mata masalah ketersediaan dana, melainkan persoalan kepercayaan, manajemen usaha, dan persepsi risiko.
Bank memiliki modal besar, namun dunia usaha—terutama UMKM—belum siap memperluas aktivitas dan mengambil pembiayaan. Banyak pelaku usaha masih ragu meminjam karena ketidakpastian ekonomi dan kemampuan manajerial yang terbatas. Di sisi lain, bank juga berhati-hati karena sebagian besar UMKM tidak memiliki laporan keuangan yang layak, proyeksi arus kas yang terukur, atau strategi usaha yang dapat divalidasi. Likuiditas yang berlimpah akhirnya hanya menguap menjadi angka di neraca, tanpa mendorong produktivitas di sektor riil.
Untuk itulah Indonesia membutuhkan pendekatan baru yang lebih struktural dan lebih berorientasi pada kualitas usaha. Saya mengusulkan penerapan skema bagi hasil yang dipadukan dengan pendampingan intensif dari perguruan tinggi. Kombinasi ini memberikan solusi menyeluruh terhadap masalah kredit: meningkatkan kapasitas usaha, menurunkan risiko, dan membangun kepercayaan antara dunia perbankan dan pelaku usaha.
Model Kemitraan Tiga Pihak: Bank – UMKM – Perguruan Tinggi
Pendekatan ini bekerja melalui kemitraan tripartit:
- Bank menyediakan pembiayaan dengan skema bagi hasil (musyarakah atau mudharabah), sehingga risiko dan keuntungan dibagi secara proporsional.
- UMKM menjalankan bisnis berdasarkan rencana yang telah diperbaiki melalui pendampingan manajerial dan teknis.
- Perguruan tinggi berperan sebagai pendamping, konsultan, dan penjamin mutu manajemen usaha, termasuk penyusunan laporan keuangan, proyeksi usaha, hingga strategi pemasaran.
Dengan mekanisme ini, bank tidak lagi berjalan sendirian dalam mengelola risiko; UMKM tidak lagi bertumpu pada intuisi semata; dan perguruan tinggi menjalankan fungsi pengabdian masyarakat yang relevan dan terukur.
Model ini serupa dengan menyediakan “instruktur profesional” bagi pelari pemula. Menambah air ke kolam renang tidak otomatis membuat seseorang mahir berenang; tetapi menghadirkan pelatih dan sistem latihan terstruktur akan mengubah hasil secara nyata. Begitu pula kredit: likuiditas melimpah tanpa pendampingan hanya menghasilkan stagnasi.
Menjawab Hambatan Struktural Kredit Nasional
Model bagi hasil dengan pendampingan perguruan tinggi memberikan sejumlah keuntungan strategis:
- Risiko kredit menurun, sehingga penyaluran pembiayaan meningkat lebih cepat.
- UMKM naik kelas, karena rencana bisnis, pembukuan, dan tata kelola diperbaiki secara profesional.
- Ekonomi riil tumbuh, bukan sekadar portofolio bank.
- Pemerintah memperoleh dampak berlipat dari kebijakan fiskal melalui peningkatan produktivitas sektor usaha.
- Perguruan tinggi dapat menghasilkan riset, inovasi, dan publikasi berbasis data lapangan yang nyata.
Jika dilaksanakan secara nasional, model ini dapat menjadi fondasi baru bagi pembiayaan inklusif di Indonesia. Kredit tidak hanya menjadi produk perbankan, tetapi instrumen pembangunan ekonomi rakyat.
Penutup
Indonesia memerlukan terobosan yang menjembatani kesenjangan antara likuiditas perbankan dan kebutuhan dunia usaha. Skema bagi hasil dengan pendampingan perguruan tinggi adalah pendekatan yang tidak hanya menyelesaikan masalah teknis kredit, tetapi juga memperkuat struktur ekonomi nasional. Kredit yang sehat tumbuh dari bisnis yang sehat. Dan bisnis yang sehat tumbuh dari pengetahuan, pendampingan, dan kemitraan yang saling menguatkan.
Sudah waktunya kita meninggalkan paradigma “likuiditas cukup = kredit tumbuh”. Yang diperlukan adalah ekosistem cerdas yang menyatukan modal, keahlian, dan pendampingan. Dengan itu, kredit tidak hanya bergerak, tetapi memberi manfaat nyata bagi kesejahteraan rakyat.
Profil Penulis
Prof. Dr. Nandan Limakrisna, MM
Guru Besar Manajemen, pakar strategi bisnis dan ekonomi kerakyatan.
Penggagas Snowball Business Model, konseptor berbagai model strategis UMKM dan pembangunan ekonomi daerah.
Aktif sebagai promotor doktor, konsultan kebijakan publik, dan pembina pengembangan


















