Jakarta, detikj – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, mengusulkan legalisasi pengeboran minyak oleh masyarakat desa (sumur rakyat) dengan skema hasil produksi disalurkan kepada Pertamina. Kebijakan ini memicu perdebatan di kalangan publik dan praktisi migas, karena berpotensi menambah lifting nasional sekaligus membuka ruang pemberdayaan ekonomi lokal.
Bahlil menegaskan bahwa sumur-sumur rakyat yang selama ini berstatus ilegal akan dilegalkan melalui Peraturan Menteri ESDM. Dengan harga jual sesuai keekonomian dan jaminan pembelian oleh Pertamina, potensi peningkatan produksi diperkirakan mencapai 20.000 barel per hari. “Ini peluang besar untuk menutup gap produksi migas nasional sekaligus memulihkan perekonomian desa,” ujarnya di Jakarta, Selasa (24/6).
Sejumlah media nasional, termasuk Detik dan Kompas, memberitakan bahwa skema ini tengah dirancang untuk mengintegrasikan sumur rakyat ke dalam sistem kontrak kerja sama Pertamina. Dengan demikian, praktik pengeboran mandiri yang selama ini rawan tumpang tindih izin dan kerusakan lingkungan dapat tertata. Sebagian pihak menilai langkah ini revolusioner, sebagian lagi waspada terhadap risiko kelemahan tata kelola.
Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, memberikan apresiasi terhadap inisiatif tersebut. “Kami mendukung penuh kebijakan yang memberdayakan masyarakat dan menambah pasokan migas nasional. Namun, legalisasi tanpa pengawasan ketat bisa menimbulkan celah baru bagi praktik penyalahgunaan izin,” kata Romadhon kepada wartawan di kantornya, Kamis (26/6).
Meski manfaat ekonomi desa jelas—arus kas masuk dari penjualan minyak dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dan modal bagi UMKM—tata kelola produksi memerlukan sistem pemantauan mutu dan volume. Tanpa perangkat regulasi dan sistem pelaporan yang transparan, volume lifting yang dilaporkan bisa berbeda jauh dengan realisasi di lapangan.
Romadhon menekankan perlunya audit independen dan struktur pelaporan terpadu antara desa, Pertamina, dan regulator. “Kami sarankan pembentukan unit pengawas desa berbasis komunitas dan dukungan teknis dari Kementerian ESDM,” ujarnya.
Konektivitas sumur rakyat ke kilang Pertamina menjadi tantangan tersendiri. Infrastruktur pipa, fasilitas penyimpanan, serta jalur angkut harus dipersiapkan agar distribusi berjalan efisien. Bila tidak, risiko kehilangan produk saat transportasi atau penurunan kualitas minyak dapat memakan biaya lebih besar daripada manfaatnya.
“Kebijakan baik ini harus diimbangi pembangunan infrastruktur secara merata,” tambah Romadhon, mengingatkan pemerintah dan investor agar memperhatikan akses logistik di daerah terpencil.
Secara makro, legalisasi sumur rakyat dapat mendukung ketahanan energi nasional. Pada saat yang sama, sinergi antara pemerintah pusat, Pertamina, dan masyarakat desa perlu dijaga agar kebijakan tidak berhenti sebatas wacana. Peningkatan produksi lokal turut mengurangi impor BBM dan memperkuat neraca perdagangan sektor energi.
Ke depan, Bahlil diharapkan segera menerbitkan Peraturan Menteri terkait dan menjadwalkan pilot project di beberapa kabupaten pesisir. Pengawasan eksternal dari lembaga independen, keterlibatan perguruan tinggi dalam riset teknis, serta dukungan pembiayaan mikro menjadi kunci sukses implementasi.
Dengan potensi besar dan tantangan nyata, kebijakan pengeboran sumur rakyat oleh Bahlil bisa menjadi terobosan atau sekadar harapan. Konsistensi regulasi, transparansi, dan kolaborasi lintas-sektor menjadi prasyarat agar niat baik ini berdampak positif bagi masyarakat dan negara.