Jakarta – Kasus dugaan penipuan dan penggelapan terkait Program Desa Terang mencuat setelah Sri Sutarti, SKm, MM, dituduh oleh PT. Adi Rayyan Teknologi (ART) atas hilangnya dana $50.000 (Rp 700 juta). Program yang awalnya didukung oleh pemerintah ini kini berujung pada kontroversi hukum, dengan kuasa hukum Sri Sutarti menuduh adanya kriminalisasi dan ketidakadilan dalam proses peradilannya.
Sri Sutarti, SKm, MM, sebelumnya terlibat dalam Program Desa Terang yang diluncurkan di Desa Karawang Sari Natar, Bandar Lampung oleh Koperasi Jasa Gerakan Nelayan Tani Indonesia (KOPJA GANTI), di bawah pimpinan Dadang Mishal Yofthi, SH, MM. Program ini dihadiri oleh sekitar 400 kepala desa di Indonesia, dengan tujuan mendukung pembangunan desa di sektor energi.
Program tersebut kemudian diambil alih oleh Gerakan Nelayan Tani Indonesia (GNTI) yang dipimpin oleh Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MSi. Pada 1 Desember 2018, program ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo melalui SK Nomor 121-DT/PP-GNTI/XII/2018. Sri Sutarti ditunjuk sebagai Koordinator Pelaksana Lapangan Kampanye Presiden Joko Widodo, dengan seluruh anggaran kegiatan ditanggung oleh DPP-GNTI, hingga puncak acara pada 5 April 2019.
Namun, setelah program tersebut dihentikan, Sri Sutarti dituduh melakukan penipuan dan penggelapan terkait program Desa Terang. PT. Adi Rayyan Teknologi (ART) mengklaim telah menyerahkan dana sebesar $50.000 (sekitar Rp 700 juta), yang menjadi dasar tuduhan terhadap Sri Sutarti. Tuduhan ini menimbulkan ketidakpastian dan memperlihatkan masalah dalam manajemen serta akuntabilitas keuangan setelah program di hentikan.
“Telah terjadi ketidak adilan dalam proses hukum yang sedang berlangsung di Polres Jakarta Selatan. Ada kejahatan besar, di Polres Jakarta Selatan.
Ibu Sri Sutarti saya harapkan datang ke Polres, tiba-tiba dia ditetapkan sebagai tersangka Ajaib, kan?” ujar Kamaruddin di PN Jakarta Selatan pada, Kamis, 12 September 2024.
Padahal ada keterlibatan pihak lain mengapa Klien kami dikenakan Pasal 372 dan 378 terkait penipuan dan penggelapan lalu dijadikan tersangka tunggal padahal ada keterlibatan Koperasi, Ketua Umum, dan pemberi dana (kontraktor)
Kamaruddin mengatakan bukankah Bendahara mencairkan uangnya harus dengan persetujuan ketua dan tanda tangan (KSB).
Ibu PSri Sutarti tidak bisa mengambil sendiri uangnya, kecuali ada tanda tangan ketua selain itu juga ada kwitansi pencairan dan laporan keuangan yang bisa menjelaskan dana tersebut di gunakan untuk apa saja dan di salurkan kepada siapa saja.
Hottua Manalu S.H mengkritisi proses peradilan. “Polres Jakarta Selatan telah mendaftarkan perkara pada 30 Agustus 2024, dan meskipun tidak terlambat, terdapat masalah terkait penjadwalan persidangan. Sidang pertama pada 29 Agustus 2024 tidak dihadiri oleh termohon, yang berharap pokok perkara disidangkan terlebih dahulu agar gugatan praperadilan digugurkan. Padahal, jadwal praperadilan telah ditetapkan lebih awal,” jelas Hottua selaku pengacara.
Majelis hakim menyatakan penundaan sidang sampai hari Jum’at dengan agenda mendengarkan pernyataan dari saksi ahli yang diajukan oleh team Komaruddin selaku Kuasa hukum Sri Sutarti . hingga akhirnya dapat memberi keputusan sidang akhir dari perkara tersebut