Jakarta, detikj — Polemik seputar pasokan BBM dan peran SPBU swasta kembali memicu riuh di ruang publik. Di media sosial, opini berseliweran tanpa arah, sebagian menyerang Pertamina seolah perusahaan pelat merah ini sumber segala persoalan energi nasional. Padahal, banyak tudingan itu lahir bukan dari data, melainkan dari desain opini yang disebar terencana.
Pertamina memang bukan tanpa kekurangan. Namun publik juga perlu jernih melihat bahwa perusahaan ini menjalankan mandat sosial, bukan sekadar mengejar laba. Ia menanggung beban subsidi, menjaga harga BBM di daerah terpencil, dan memastikan energi tetap mengalir bahkan di wilayah yang tak menguntungkan secara komersial. Tugas ini tidak pernah dijalankan oleh korporasi swasta mana pun.
Gagas Nusantara menilai pemerintah perlu hadir secara tegas agar perdebatan energi tidak dibajak oleh kepentingan pasar bebas. Isu BBM seharusnya menjadi ruang evaluasi kebijakan, bukan panggung pembusukan terhadap institusi negara. Apalagi, ketika opini publik digerakkan untuk menurunkan kredibilitas Pertamina, maka yang terguncang bukan satu perusahaan, melainkan kepercayaan terhadap negara itu sendiri.
“Ketika propaganda diarahkan ke Pertamina, yang diserang sebenarnya bukan perusahaan, tapi simbol kedaulatan ekonomi. Ini bukan sekadar debat bisnis, melainkan uji loyalitas kita pada bangsa sendiri,” ujar Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn dalam keterangannya, Jumat (10/10/2025).
“Menjaga Pertamina berarti menjaga fondasi ekonomi nasional. Yang hari ini menyerang Pertamina mungkin lupa, tanpa BUMN ini harga BBM di pelosok bisa dua kali lipat dan subsidi rakyat tak akan sampai. Ini bukan heroisme, ini realitas,” lanjut Romadhon.
Di tengah derasnya serangan informasi, publik perlu belajar membedakan kritik membangun dari narasi yang ditunggangi. Bagi Gagas Nusantara, melindungi Pertamina bukan sikap buta, tapi bentuk rasionalitas bernegara dan publik jangan terjebak narasi propaganda korporasi swasta.
Pemerintah diminta memperkuat posisi Pertamina lewat kebijakan yang berpihak dan konsisten. Selama ini, perusahaan itu berdiri di antara tuntutan pasar dan kewajiban sosial. Negara wajib menegaskan siapa yang harus diprioritaskan: rakyat atau retorika efisiensi. Menjadi efisien bukan berarti tunduk pada tekanan pasar, tapi memastikan rakyat kecil tetap bisa membeli bahan bakar untuk hidupnya.
“Sudah waktunya publik menyebut Pertamina sebagai SPBU Merah Putih. Ini bukan sekadar merek dagang, tapi identitas kebangsaan. Kalau Pertamina digoyang, yang terguncang bukan direksinya, tapi ekonomi seluruh negeri,” kata Romadhon Jasn.
Gagas Nusantara mendorong pemerintah mengadopsi istilah SPBU Merah Putih secara resmi, agar masyarakat memahami bahwa setiap SPBU Pertamina adalah simbol kehadiran negara, bukan sekadar bisnis bahan bakar.
Di tengah derasnya informasi, yang dibutuhkan bukan tambahan opini, tapi arah. Propaganda negatif ke Pertamina yang dibiarkan tanpa koreksi akan menjadi senjata yang merusak daya tahan sosial. Karena itu, literasi energi harus menjadi bagian dari kebijakan publik. Kedaulatan energi tidak hanya lahir dari produksi minyak, tapi juga dari kesadaran kolektif rakyatnya untuk melindungi yang strategis.
Pemerintah juga didorong untuk menindak tegas praktik swasta yang hanya beroperasi di wilayah menguntungkan dan menolak prinsip pemerataan. Energi bukan soal siapa yang menjual paling murah, tapi siapa yang tetap hadir di tempat yang tak terjangkau pasar. Di titik itulah Pertamina berdiri bukan sempurna, tapi satu-satunya yang setia menjalankan peran negara.
“Sekarang waktunya publik sadar: propaganda energi adalah serangan terhadap kemandirian bangsa. Mari cintai produk negeri, lindungi SPBU Merah Putih, dan berdiri di sisi negara. Karena jika kita diam, yang terbakar bukan hanya BBM, tapi martabat ekonomi kita sendiri,” tutup Romadhon Jasn.