Senin 06 Januari 2025 11:00 WIB
DiranTeuku Rizal ( Ketua Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan kepemudaan HMI Cabang Jakarta Timur )
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selama ini terjadi secara bertahap. Jika pada 2022, PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, pada 1 Januari 2025 akan kembali naik menjadi 12 persen. Kenaikan tarif PPN ini, disebutkan pemerintah, untuk memenuhi tuntutan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan.
Namun, kebijakan ini justru mendapat banyak penolakan.
Penolakan soal pajak bukanlah hal baru. Selama zaman penjajahan Belanda, pungutan pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan pajak di Jawa dan Sumatera serta daerah-daerah lainnya (Onghokham, 1985). Padahal, pada masa itu pun pemerintah kolonial berusaha agar rakyat memberikan kontribusi melalui pajak secara wajar (Angelino, 1931).
Apakah kebijakan pajak saat ini sudah mencerminkan pendekatan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat, ataukah justru melanjutkan pola ketidakadilan sosial yang ada sejak masa kolonial?
Mengatasi polemik kenaikan PPN, pemerintah memberikan penjelasan bahwa kenaikan PPN hanya untuk barang mewah. Masalahnya, barang mewah sudah memiliki klasifikasi dan tarif tersendiri dalam UU Perpajakan. Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen itu justru terhadap barang-barang yang tidak tergolong mewah.
Desain keseluruhan pajak memengaruhi dampak terhadap kemiskinan dan keadilan.
Apologia pemerintah ini menimbulkan dua persoalan mendasar. Pertama, persoalan legalistik. Pemerintah seolah mengaburkan batas antara apa yang dianggap sebagai barang mewah dan kebutuhan dasar. Pasal 7 Ayat (1) UU No 8/1983 jo UU No 7/2021 tidak mengatur soal barang mewah. Kalaupunlah pemerintah benar, quod non, PPN kita tidak menganut skema multitarif.
Jika yang disasar pemerintah adalah barang mewah, rujukan dalam UU Perpajakan tak memberikan dasar untuk kenaikan tarif. Lagi pula, tanpa perlu penjelasan pemerintah pun, UU Perpajakan bahkan sudah mengecualikan barang kebutuhan pokok dari cengkeraman PPN. Tidak ada nilai tambah dari penjelasan pemerintah.
Kedua, persoalan pertentangan kelas. Pemerintah jangan berpikir bahwa dengan menyebut kata mewah terhadap barang dan jasa yang akan dinaikkan tarifnya berarti menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Dengan kenaikan tarif ini, beban terbesar justru ditanggung oleh kelompok berpendapatan rendah.
Mengandalkan jargon mewah untuk mengaburkan dampak kenaikan PPN bukanlah tindakan bijak. Hal itu justru mengadu domba antarkelas. Negara seharusnya hadir juga untuk seluruh anak bangsa, termasuk kaum ”mendang-mending“, kelas menengah yang serba tanggung, yang juga butuh diperhatikan. Kelas menengah pastinya tidak akan ikut menjadi penerima bantuan langsung pemerintah.
Paket 15 insentif ekonomi yang dicanangkan pemerintah juga tidak terlalu relevan untuk kehidupan sehari-hari kelas menengah yang tidak setiap hari membeli mobil ataupun rumah baru. Kelas menengah lebih butuh tidak dibebani lebih untuk barang-barang yang sehari-hari dikonsumsinya. Jika pemerintah belum bisa mengurangi, setidaknya jangan menambah beban rakyat.
Menuju kebijakan yang lebih adil
Jika alasan pemerintah untuk menaikkan PPN adalah persoalan legalistik, solusi legalistik tersedia pula untuk menurunkannya. Pasal 7 Ayat 3 UU No 8/1983 jo UU No 7/2021 memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Ketentuan ini memberikan peluang bahwa di hari berlakunya tarif 12 persen, pemerintah dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perppu), tidak hanya untuk tetap menjaga tarif PPN tetap 11 persen, tetapi bahkan bisa menurunkannya. Bukankah alasan darurat bisa dicari?
Persoalan PPN tak sekadar mengenai seberapa besar tarif yang dibebankan pemerintah bagi rakyatnya.
Desain keseluruhan pajak memengaruhi dampak terhadap kemiskinan dan keadilan. Ini menekankan pentingnya merancang PPN dengan cermat dan memanfaatkan berbagai instrumen yang tersedia bagi pemerintah untuk mencapai hasil yang adil.
Maka, ekuilibrium antara penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat harus senantiasa dijaga. PPN seharusnya diletakkan dalam kerangka yang berkeadilan. Uang yang digunakan untuk berbelanja barang dan jasa obyek PPN itu sudah terlebih dahulu dikenai Pajak Penghasilan (PPh) oleh pemerintah.
Bisa dipahami, di media sosial beredar pernyatan bahwa penipuan terbesar dalam hidup adalah membayar pajak atas uang yang kita hasilkan, membayar pajak atas uang yang kita belanjakan, dan membayar pajak atas barang yang kita miliki, yang sebenarnya sudah kita bayarkan pajaknya.
Jika korporasi dapat mengkreditkan PPN, orang per orangan juga sepantasnya mendapatkan fasilitas yang sama sebagai pengurang PPh yang dibayarkan. Dalam jangka panjang, desain kebijakan ini akan memberikan ruang lebih bagi masyarakat untuk memiliki daya beli yang lebih kuat, tanpa terjebak dalam beban pajak ganda.
Dengan demikian, kita tak hanya berbicara soal penerimaan negara, tetapi juga soal substansi yang hakiki dalam perpajakan yang adil dan bermanfaat.