JAKARTA,- Pertentangan sikap di tubuh pemerintah kembali mencuat setelah Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebut bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tentang larangan polisi aktif menjabat posisi sipil “tidak berlaku surut” dan tidak mewajibkan pejabat Polri yang sudah terlanjur berada di jabatan sipil untuk mundur. Padahal, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sebelumnya menyatakan bahwa semua polisi aktif harus segera meninggalkan jabatan sipil sesuai perintah MK. Dua pernyataan yang saling berseberangan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa negara tampak bingung menjalankan konstitusi sendiri?
Polemik bermula ketika MK memutus bahwa anggota Polri aktif dilarang menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dini. Putusan ini mencabut celah hukum yang selama bertahun-tahun memberi ruang bagi perwira Polri duduk di kursi strategis kementerian dan lembaga non-polisi, sebuah praktik yang dikritik karena melemahkan batas sipil–kepolisian.
Mensesneg Prasetyo Hadi secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tunduk penuh pada putusan MK. Ia meminta pejabat Polri aktif yang kini berada di jabatan sipil untuk segera mundur. Sikap ini dipandang sebagai langkah konstitusional yang tepat karena menegaskan bahwa eksekutif tidak bisa berada di luar putusan lembaga yudikatif.
Namun pernyataan Menkumham Supratman Andi Agtas memunculkan tafsir berbeda dengan menyebut pejabat Polri aktif yang sudah terlanjur menjabat “tidak wajib mundur saat ini”. Pernyataan itu langsung dikritik. Direktur LBH KCB, Ari Azhari, menyebut tafsir Menkum berpotensi menyesatkan publik. “Ini bukan soal retroaktif atau tidak. Begitu MK memutus, norma berubah. Polisi aktif tidak punya dasar hukum lagi untuk tetap menjabat,” ujar Ari, kepada awak media, Rabu (17/11/2025).
Dalam tradisi hukum tata negara, putusan MK memang tidak berlaku surut terhadap tindakan lampau. Namun sejak menit putusan itu dibacakan, norma yang dibatalkan langsung kehilangan kekuatan mengikat. Pejabat yang masih menjabat di bawah norma lama wajib menyesuaikan diri, bukan diberi perlindungan atas jabatan yang tidak lagi memiliki dasar konstitusional.
Karena itu, penjelasan Menkum dipandang berpotensi mengaburkan posisi hukum pejabat Polri aktif yang sekarang masih menjabat sipil. Bila dibiarkan, negara justru memberi ruang bagi multi-tafsir, yang pada akhirnya melemahkan efektivitas putusan MK sebagai puncak koreksi konstitusional. Dua suara pemerintah ini membuat pelaksanaan putusan terhambat oleh kebingungan birokrasi.
Situasi ini ikut menyeret institusi Polri ke dalam ketidakpastian. Tanpa arahan tunggal dari Presiden, Polri berada dalam posisi serba sulit. “Polri justru akan dirugikan jika pemerintah tidak memberikan satu komando. Mereka bisa dianggap tidak patuh padahal instruksinya sendiri tidak seragam,” kata Ari Azhari menyoroti risiko kerusakan reputasi kepatuhan institusi.
Publik pun menuntut kepastian. Jabatan sipil adalah jabatan administrasi negara yang menuntut legalitas sempurna. Pejabat yang posisinya berubah menjadi tidak sah setelah putusan MK berpotensi memunculkan gugatan dan membatalkan keputusan administrasi yang telah mereka keluarkan. Ini merupakan situasi yang tidak boleh dibiarkan oleh negara.
Sementara itu, revisi UU Polri yang tengah disiapkan pemerintah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda implementasi putusan MK. Revisi undang-undang adalah proses politik jangka panjang, sedangkan putusan MK adalah perintah yang berlaku hari ini. “Jangan campur-adukkan proses legislasi dengan kewajiban konstitusional. Pelaksanaan putusan MK tidak menunggu revisi UU,” tegas Ari.
Kebingungan ini harus diakhiri melalui sikap resmi dari Presiden. Tanpa penegasan tunggal, instansi seperti Polri, KemenPAN-RB, Setneg, dan kementerian pengguna jabatan sipil akan terus berjalan dengan versi kebijakan yang berbeda-beda. Publik berhak mendapat kepastian bahwa pemerintah berdiri pada satu garis jelas: patuh pada MK.
Putusan MK adalah representasi suara konstitusi. Bila pemerintah sendiri tampak ragu mengeksekusi putusan tersebut, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum turut dipertaruhkan. “Negara tidak boleh mengirim dua pesan. Putusan MK final, dan pejabat Polri aktif wajib mundur dari jabatan sipil. Ini bukan opini ini perintah konstitusi,” tutup Ari.
















