Jakarta, detikj – Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri di kediaman Megawati, Jakarta, Senin (7/4/2025), menjadi sorotan publik. Kedua tokoh yang pernah bersaing di Pilpres 2009 ini menunjukkan kebesaran jiwa dengan duduk bersama tanpa beban politik.
Menurut pantauan media, pertemuan berlangsung selama 1,5 jam dan dihadiri sejumlah tokoh pendamping, termasuk Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad*. Namun, pembicaraan keduanya bersifat tertutup, mengisyaratkan dialog yang lebih personal ketimbang transaksional.
Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, menilai pertemuan ini sebagai bukti kedewasaan politik*. “Ini langkah langka di tengah polarisasi yang kerap terjadi. Mereka menunjukkan bahwa kepentingan bangsa lebih penting daripada ego sektoral,” ujarnya Rabu (9/4/2025).
Kedatangan Prabowo dengan mobil dinas Maung Garuda tanpa protokoler berlebihan juga menjadi perhatian. Sikap rendah hati ini dinilai sebagai upaya membangun chemistry politik yang alami, bukan sekadar pencitraan.
Meski tak ada pernyataan resmi, sumber yang dekat dengan kedua pihak menyebut pembahasan berkisar pada stabilitas nasional dan tantangan global. Megawati, sebagai sosok senior, diyakini memberikan masukan strategis kepada Prabowo.
Kehadiran sejumlah elite partai seperti Ahmad Muzani (Gerindra) dan Budi Gunawan (PDI-P) di luar ruangan memicu spekulasi. Namun, tak ada indikasi pertemuan ini terkait dengan koalisi atau kebijakan pemerintahan.
Analis politik melihat langkah Prabowo ini sebagai upaya memperluas basis legitimasi. “Dia tak ingin terjebak dalam narasi ‘boneka kekuatan lama’. Mendatangi Megawati adalah sinyal kemandirian,” kata pengamat politik Lily Wahid*.
Respons publik pun beragam. Sebagian memuji sebagai simbol rekonsiliasi, sementara lainnya menunggu tindak lanjut konkret. Namun, pertemuan ini setidaknya memberi pesan: politik tak harus selalu tentang konflik.
Bagi PDI-P, langkah Megawati menerima Prabowo dinilai sebagai sikap statesmanship. “Ini bukan dukungan politik, tapi bentuk tanggung jawab kebangsaan,” kata Romadhon.
Pertemuan ini menutup dengan kesan positif. Romadhon Jasn menyebutnya sebagai “politik yang beradab“*—sebuah teladan bahwa perbedaan tak harus menghalangi kolaborasi untuk Indonesia.