JAKARTA – Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menetapkan Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan yang boleh melakukan impor bahan bakar minyak (BBM) untuk disalurkan ke SPBU swasta menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah pihak menilai langkah ini sebagai upaya menguatkan kontrol negara atas pasokan energi strategis, sementara kritik datang dari partai politik yang menyoroti potensi monopoli.
Langkah Bahlil tersebut sejalan dengan mandat pemerintah untuk memastikan stabilitas energi nasional, mengingat BBM masih menjadi kebutuhan utama masyarakat. Selama ini, impor BBM oleh pihak swasta kerap menimbulkan disparitas harga dan persoalan distribusi. Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah ingin menekan praktik spekulasi sekaligus menjaga kepastian pasokan.
Meski demikian, suara penolakan muncul dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedua partai menilai aturan tersebut berpotensi mematikan iklim kompetisi usaha di sektor hilir migas. Menurut mereka, kebijakan monopoli akan mengurangi kesempatan swasta dalam menghadirkan efisiensi dan pilihan harga bagi masyarakat.
Pemerintah beralasan, kebijakan tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan swasta, melainkan menata sistem agar lebih rapi dan terukur. Bahlil menegaskan bahwa Pertamina diberi mandat sebagai agregator impor, sementara SPBU swasta tetap dapat memperoleh pasokan dengan harga yang disesuaikan mekanisme pasar dan regulasi.
Menurut Direktur Gagas Nusantara, langkah ini penting demi menegakkan prinsip kedaulatan energi. “Pemerintah harus berani membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional, meski ada resistensi. Pertamina sebagai BUMN energi memang harus berada di garda depan menjaga pasokan BBM,” ujar Romadhon Jasn dalam rilisnya, Senin (22/9/2025) di Jakarta.
Di sisi lain, para analis mencatat bahwa keberhasilan kebijakan ini bergantung pada transparansi mekanisme penyaluran BBM. Tanpa pengawasan yang ketat, potensi inefisiensi justru bisa muncul di tubuh Pertamina sendiri. Karena itu, perlu ada jaminan bahwa peran Pertamina sebagai importir tunggal tidak akan merugikan konsumen.
Romadhon Jasn menambahkan, dukungan publik akan semakin kuat jika pemerintah konsisten menjalankan kebijakan ini dengan prinsip akuntabilitas. “Keterbukaan informasi, audit independen, dan partisipasi publik menjadi kunci agar masyarakat yakin kebijakan ini benar-benar demi kepentingan rakyat,” katanya.
Lebih jauh, pengendalian impor BBM oleh Pertamina juga dinilai sejalan dengan agenda jangka panjang transisi energi. Pemerintah dapat lebih mudah mengarahkan konsumsi menuju energi alternatif tanpa harus berhadapan dengan banyak pemain impor swasta. “Langkah Bahlil ini bisa dibaca sebagai penataan jalan menuju kemandirian energi, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor,” jelas Romadhon.
Meski masih menuai kritik dari sebagian pihak, arah kebijakan ini tetap relevan dengan semangat memperkuat peran negara di sektor strategis. Pemerintah hanya perlu memastikan bahwa mekanisme pelaksanaannya tidak mengganggu iklim usaha yang sehat. “Kritik itu wajar, tapi dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, pemerintah memang harus mengambil keputusan berani,” pungkas Romadhon Jasn.


















