JAKARTA — Plaza 2 Blok M yang baru diresmikan seolah menjadi simbol kegagalan tata kelola pasar rakyat di ibu kota. Alih-alih ramai oleh pedagang dan pembeli, pusat perniagaan itu justru ditinggalkan warganya. Koperasi pengelola belum terbentuk, sewa kios terasa mahal, dan konsep besar yang dijanjikan pemerintah daerah tinggal slogan.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Pasar Santa di Jakarta Selatan, yang dulu digadang-gadang sebagai ikon kreatif anak muda, kini menghadapi nasib serupa. Pedagang mengeluhkan turunnya omzet, lapak yang kosong, hingga sepi pembeli. Wajah kota global yang diagungkan pemerintah provinsi ternyata bertolak belakang dengan realitas di lapangan.
Presidium JagaJakarta menilai, lambannya pemerintah DKI dalam merespons masalah ini hanya menegaskan kepemimpinan yang lebih sibuk berpose ketimbang bekerja. “Kalau pasar saja tak bisa diurus, bagaimana mungkin bicara Jakarta kota dunia? Pencitraan semu ini tidak layak dipertahankan,” ujar Ical Presidium JagaJakarta pada Minggu (7/9/2025).
Catatan media menunjukkan masalah di Pasar Santa bukan hal baru. Pada 2014, bahkan ada 692 kios kosong dari 1.151 unit. Revitalisasi berulang kali dilakukan, namun sepi pembeli tetap menjadi keluhan utama. Pola ini kini terulang di Plaza 2, memperlihatkan kegagalan desain kebijakan yang tidak pernah belajar dari pengalaman. “Ini bukan sekadar soal kios kosong, tetapi soal orientasi pembangunan yang salah arah,” tegas Ical.
Ironisnya, pemerintah provinsi kerap mengedepankan jargon “kota global” untuk menutupi masalah dasar seperti ini. Padahal, pasar rakyat adalah denyut nadi kehidupan harian warga. Bila pedagang tak bisa hidup, jargon tinggal poster. “Lapak sepi itu lebih jujur daripada baliho penuh warna. Warga kecil tidak butuh foto seremonial, mereka butuh pembeli,” kata Ical.
Kondisi serupa juga terlihat di Plaza 2, di mana pedagang memilih hengkang lantaran biaya sewa tidak sebanding dengan pemasukan. Koperasi yang seharusnya menopang pengelolaan pasar bahkan belum terbentuk, menambah kesan pemerintah hanya setengah hati. “Jakarta jangan hanya jadi etalase investor, tapi juga rumah yang layak untuk pedagang kecil,” ungkap Presidium JagaJakarta.
Bila ini dibiarkan, yang terjadi hanyalah ilusi pembangunan. Pemerintah terlihat aktif meresmikan proyek, tetapi abai menyiapkan ekosistem agar pasar rakyat benar-benar hidup. Ketika konsep dan kenyataan tidak bertemu, maka yang lahir adalah frustrasi pedagang. “Setiap lapak kosong adalah tanda bahwa kepemimpinan ini gagal mendengar suara rakyat kecil,” tutup Ical.
Realitas ini seharusnya menjadi alarm bagi Gubernur Pramono Anung. Jika masalah pasar rakyat terus dibiarkan, protes publik bukan tidak mungkin meledak di jalanan. Kota yang katanya modern ini bisa berubah menjadi panggung ironi, di mana foto peresmian lebih penting daripada isi kantong pedagang.


















