JAKARTA – Feronika N. Latbual, mahasiswa asal Kabupaten Buru Selatan yang kini menempuh pendidikan di Jakarta, kembali melontarkan kritik tajam terhadap kinerja pemerintahan Bupati La Hamidi dan Wakil Bupati Gerson E. Selsily.
Menurutnya, 100 hari pertama masa kerja pemerintahan baru tersebut justru memperlihatkan ketidakseriusan dan kegagalan dalam merealisasikan janji-janji prioritas yang telah disampaikan ke publik.
“Yang terlihat bukan hasil, tapi ketidakseriusan. Banyak program prioritas yang hanya berhenti di tataran pidato dan spanduk,” tegas Ferronika dalam keterangannya, Rabu (25/6).
Koordinator Jaringan Advokasi Tanah Adat (JAGAD) itu merinci sejumlah program unggulan yang dijanjikan namun belum menyentuh masyarakat secara nyata. Di antaranya adalah pendidikan dan kesehatan gratis yang mencakup beasiswa bagi 500 mahasiswa, insentif untuk guru dan tenaga kesehatan, serta akses obat-obatan gratis berbasis BPJS.
Namun hingga kini, masyarakat masih harus membeli obat sendiri, layanan kesehatan belum membaik signifikan, dan belum ada data terbuka mengenai realisasi beasiswa yang dijanjikan.
Feronika juga menyoroti lemahnya progres pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan di lintas kecamatan. Beberapa ruas utama yang menghubungkan Namrole, Kepala Madan, dan Leksula misalnya, masih dalam kondisi rusak dan belum disentuh pembangunan meski menjadi jalur vital distribusi bahan pokok.
Demikian pula dengan konektivitas laut yang dijanjikan melalui operasional kapal antarwilayah, yang belum terlaksana secara merata.
Tak kalah penting, janji pemberdayaan adat berupa pembangunan rumah adat dan alokasi dana untuk desa-desa adat juga belum terlihat realisasinya.
Padahal, program itu semestinya menjadi penopang identitas dan kekuatan sosial budaya masyarakat Buru Selatan.
“Kami kecewa karena belum ada satu pun dari klaim tersebut yang benar-benar terbukti di lapangan. Listrik dan BBM gratis belum kunjung terealisasi, internet satelit yang katanya akan dipasang di setiap desa belum tampak satu pun, dan layanan pendidikan pun masih jauh dari kata maksimal. Bahkan jalan utama lintas kabupaten pun belum menunjukkan tanda-tanda akan dibangun secara serius,” tegasnya.
Feronika menyebut bahwa semua itu menjadi indikator awal kegagalan program 100 hari kerja. Menurutnya, jika polanya terus berlanjut tanpa evaluasi serius, maka agenda lima tahun ke depan bisa terjebak dalam pola yang sama.
Sementara itu, pemerintah daerah melalui Bupati La Hamidi sebelumnya menyatakan komitmennya untuk mengevaluasi para pejabat OPD yang tidak produktif dan melakukan rotasi jika diperlukan. Pemkab juga mengklaim telah menjalin kemitraan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk penambahan tenaga kesehatan, serta membangun koordinasi dengan kementerian terkait untuk peningkatan sektor pendidikan dan penguatan konektivitas laut.
Namun Feronika menilai pernyataan tersebut masih normatif dan belum ditunjang dengan data capaian yang dapat diakses publik. Menurutnya, warga tidak butuh pembenaran yang melampaui tanpa pembuktian di lapangan.
Feronika bahkan menyebut terdapat kontradiksi tajam antara janji politik yang disampaikan pemerintah daerah dan realitas lapangan yang dihadapi masyarakat.
“Ada gap besar antara yang diklaim dan yang dirasakan rakyat. Program seperti ‘1 Desa, 1 Satelit’ misalnya, belum satu pun yang benar-benar terpasang. Ini bukan lagi soal teknis, tapi soal kejujuran politik,” tandasnya.
Sebagai bentuk keprihatinan, Feronika dan koleganya dari JAGAD mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah konkret.
Mereka mengajukan tiga tuntutan utama : audit independen atas realisasi program 100 hari kerja, transparansi anggaran dan pelaporan yang tidak dikunci dalam birokrasi tertutup, serta peran aktif DPRD Buru Selatan dan Gubernur Maluku dalam melakukan pengawasan dan evaluasi menyeluruh.
“Kami ingin pembangunan Buru Selatan tidak hanya jadi alat pencitraan lima tahunan. Masyarakat butuh kehadiran nyata pemerintah, bukan janji-janji yang selalu diulang,” tutup Feronika.