JAKARTA– Pemerintah bersama Pertamina mencatat sudah ada 57 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli LPG 3 kilogram dalam program pendataan subsidi tepat sasaran. Program ini merupakan salah satu langkah paling ambisius untuk memastikan subsidi energi benar-benar diterima masyarakat miskin dan rentan, sekaligus menekan kebocoran yang selama ini menjadi masalah klasik distribusi LPG.
Namun, meski progres pendataan terlihat signifikan, berbagai kalangan menilai implementasi lapangan masih menyimpan tantangan serius. Salah satunya terkait dengan validitas data, kesiapan infrastruktur digital, hingga pengawasan distribusi di daerah. Sistem single database melalui NIK memang menjanjikan, tetapi tanpa sinkronisasi penuh antar kementerian dan lembaga, kebijakan ini berpotensi timpang.
Pertamina menegaskan bahwa mekanisme baru ini bukan berarti masyarakat miskin akan sulit membeli LPG. Justru, sistem berbasis NIK akan memudahkan verifikasi penerima subsidi. Di sisi lain, masih muncul kekhawatiran terkait pemutakhiran data kependudukan yang belum sepenuhnya rapi, terutama di wilayah pelosok dan daerah dengan mobilitas penduduk tinggi.
“Pendataan ini langkah maju, tetapi harus diikuti pembenahan menyeluruh atas single database nasional. Kalau tidak, program bisa jadi tidak efektif dan memunculkan masalah sosial baru di tingkat akar rumput, maka pentingnya sinergi lintas lembaga, “kata Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, Selasa (2/9/2025) di Jakarta.
Salah satu tantangan yang kerap muncul adalah perbedaan antara data penerima bantuan sosial (bansos) dengan realita di lapangan. Banyak rumah tangga yang berhak justru tidak tercatat, sementara ada juga yang sudah mampu masih menerima subsidi. Kelemahan ini bukan semata-mata soal LPG, melainkan cermin dari lemahnya basis data terpadu yang menjadi fondasi kebijakan publik.
“Kalau single database antar instansi tidak segera diperbaiki, distribusi subsidi energi akan selalu bocor. Transparansi data penerima harus dijadikan prioritas, bukan hanya target angka, ini sebagai kehati-hatian dan peringatan agar pemerintah tidak terjebak pada klaim administratif semata,” jelas Romadhon.
Dari sisi implementasi teknis, program ini juga akan mengubah pola distribusi LPG. Agen dan pangkalan diwajibkan menggunakan sistem verifikasi NIK setiap kali konsumen membeli tabung melon. Meski terdengar sederhana, pada praktiknya banyak pangkalan di pelosok masih minim akses jaringan internet yang stabil. Hal ini menimbulkan risiko antrian panjang, bahkan potensi pasar gelap LPG 3 kg jika sistem tidak berjalan mulus.
“Risiko sosial ini nyata. Jangan sampai rakyat kecil dipersulit hanya karena infrastruktur belum siap. Pengawasan distribusi harus ketat dan pemerintah harus hadir di lapangan, bahwa penguatan fungsi pengawasan daerah menjadi kunci,” ujar Romadhon.
Meski demikian, program ini patut diapresiasi sebagai upaya serius mengurangi inefisiensi anggaran subsidi yang nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Dengan sistem NIK, pemerintah berpeluang menutup celah penyalahgunaan dan menekan subsidi yang dinikmati kelompok tak berhak. Jika dilakukan konsisten, langkah ini bisa menjadi model baru tata kelola subsidi energi di Indonesia.
“Evaluasi harus terus dilakukan agar kebijakan ini tidak berhenti di klaim angka semata, melainkan benar-benar dirasakan rakyat miskin. Inilah momentum pemerintah membuktikan komitmen pada subsidi yang adil dan tepat sasaran, dan menegaskan kearah perbaikan tata kelola subsidi energi,” tutup Romadhon jasn.