Konawe, 03 November 2025
Suasana di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Konawe memanas pada Senin (3/11/2025), saat sejumlah massa aksi menggelar orasi menuntut verifikasi atas proses Pergantian Antar Waktu (PAW) yang dijalankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Massa aksi yang dipimpin oleh Hendryawan menuding KPU Konawe bertindak tidak transparan, sepihak, dan sarat akan dugaan pelanggaran regulasi.
Dalam orasinya, Hendryawan mempertanyakan KPU yang dituduh menyembunyikan berita acara hasil pleno terkait keputusan PAW dan tidak memberikan masa tanggap kepada masyarakat.
“Berita acara hasil pleno KPU tentang keputusan ini tidak ditunjukkan tetapi disembunyikan, ada apa ini KPU” seru Hendryawan.
Ia juga menuduh KPU bertindak “seperti pencuri” karena tidak mengumumkan proses tersebut, padahal menurutnya PKPU Nomor 6 mengatur adanya 5 hari masa tanggap.
Sorotan Pelanggaran Regulasi dan Calon Pengganti
Massa aksi membeberkan sejumlah dugaan pelanggaran serius. Hendryawan menyebut KPU telah salah kaprah menggunakan PKPU Nomor 6 Tahun 2019 sebagai rujukan, padahal seharusnya mengacu pada PKPU Nomor 7 Tahun 2017 terkait mekanisme rekomendasi.
Keabsahan surat rekomendasi DPD Kabupaten Konawe juga dipertanyakan, karena disebut tidak ditandatangani oleh Ketua DPD yang sah, Dr. H. Harmin Ramba, melainkan oleh sekretaris atas nama Dedi
Poin paling krusial adalah status Jemi Syaiful Imran, sosok yang diusulkan KPU. Hendryawan mengungkapkan bahwa Jemi telah dilantik sebagai Ketua Perusda pada 17 Juli 2025. Jabatan ini, tegasnya, secara jelas melanggar Perda Nomor 15 Tahun 2015 dan Peraturan DPRD Pasal 78, yang melarang pengurus partai politik rangkap jabatan sebagai direksi BUMD/Perusda.
“Secara tidak langsung Bapak Jemi Syaiful Imran itu sudah mengikrarkan dirinya sebagai bukan anggota partai politik lagi,” jelas Hendryawan.
Bawaslu: Kami Sama Sekali Tidak Tahu
Menanggapi tuntutan massa, pimpinan Bawaslu Kabupaten Konawe memberikan pernyataan mengejutkan. Pihaknya mempertegas bahwa Bawaslu sama sekali tidak mengetahui proses PAW yang sedang dilaksanakan oleh KPU.
“Kami dari Bawaslu ingin mempertegas bahwa dalam proses PAW ini sampai detik ini sama sekali belum mengetahui tentang apa yang telah dilaksanakan atau dilakukan oleh KPU,” ujar perwakilan Bawaslu di hadapan massa.
Bawaslu menyayangkan sikap KPU yang dinilai tidak menjunjung etika kelembagaan. Sebagai sesama penyelenggara pemilu, KPU seharusnya memberitahukan proses tersebut, meskipun terjadi di luar tahapan pemilu. Bawaslu Konawe bahkan tidak menerima tembusan surat rekomendasi KPU ke DPR.
“Seharusnya kalau secara etika kelembagaan, KPU minimal… memberitahukan,” tegasnya. “Kemungkinan (KPU) sudah tidak menganggap Bawaslu.”
Potensi Sanksi Etik
Bawaslu menilai, KPU seharusnya melibatkan mereka dalam proses verifikasi administrasi untuk memastikan syarat-syarat calon pengganti masih terpenuhi, seperti status hukum, keanggotaan partai, atau afiliasi dengan BUMD, sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 16 dan 19.
Bawaslu juga menyoroti PKPU Nomor 6 yang seharusnya mengatur masa sanggah. “Begitu surat masuk, harusnya KPU itu menyampaikan ke publik agar… publik dapat dilibatkan,” tambahnya.
Bawaslu menegaskan, jika KPU terbukti melanggar prosedur dalam proses PAW ini, KPU berpotensi menghadapi sanksi etik. Pimpinan Bawaslu Provinsi juga disebut telah memberi sinyal kesiapan untuk memproses dugaan pelanggaran etik tersebut.
Bawaslu Konawe menyatakan akan segera melayangkan surat resmi ke KPU untuk mempertanyakan persoalan ini dan mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk memasukkan aduan resmi.


















