Jakarta (detikj) – Rencana Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga), Wihaji, untuk mereplikasi program Kartu Lansia seperti yang sudah diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menuai tanggapan beragam dari publik. Dalam peringatan Hari Lanjut Usia Nasional 2025, Wihaji menyebut program ini sebagai bagian dari strategi besar bertajuk Lansia Berdaya untuk menghadapi bonus demografi dan peningkatan populasi lansia.
Langkah Wihaji dianggap visioner oleh sebagian pihak karena melihat tren populasi lansia Indonesia yang diperkirakan mencapai 20% pada 2045. Namun, kritik juga muncul, mempertanyakan apakah pemerintah pusat hanya menduplikasi inisiatif daerah tanpa kerangka nasional yang kuat.
Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menyambut baik semangat kolaboratif tersebut, tetapi mengingatkan agar kebijakan nasional tidak sekadar adopsi teknis. “Kalau ini hanya menjiplak program Jakarta tanpa kerangka perlindungan dan pemberdayaan yang komprehensif, kita hanya memindahkan manfaat tanpa memperkuat struktur sosialnya,” katanya ke awak media di Jakarta, Rabu (4/6/2025)
Penerapan Kartu Lansia di Jakarta terbukti memberi manfaat, seperti akses diskon transportasi dan layanan kesehatan. Namun, belum semua daerah memiliki kapasitas fiskal dan infrastruktur pelayanan sosial yang merata. Jika ingin berskala nasional, Wihaji harus memastikan jaminan pembiayaan dan database lansia yang akurat.
Romadhon menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam desain program ini. “Seringkali pemerintah lupa bahwa banyak lansia aktif di komunitas lokal, namun tak tercatat dalam skema formal. Libatkan mereka sejak perencanaan, bukan setelah jadi kebijakan,” tegasnya.
Berdasarkan survei BPS 2023, 36% lansia di Indonesia hidup sendiri atau hanya dengan pasangan, tanpa pendampingan keluarga. Kesepian menjadi isu struktural yang tak cukup diselesaikan dengan fasilitas material semata. Di sinilah pentingnya integrasi program kartu lansia dengan kegiatan komunitas dan edukasi sosial.
Romadhon juga mengingatkan agar jangan sampai kartu lansia menjadi sekadar alat populisme sesaat. “Jangan dijadikan alat politik atau pencitraan kementerian. Harus ada target kuantitatif, evaluasi berkala, dan transparansi anggaran. Kalau tidak, nasib programnya seperti kartu-kartu lain yang hilang arah,” tuturnya.
Selain itu, Gagas Nusantara mendorong pemanfaatan teknologi dalam program ini. Integrasi dengan NIK, BPJS, dan platform digital lokal dinilai mampu mencegah tumpang tindih data serta mempercepat distribusi manfaat secara tepat sasaran.
Romadhon menyebut bahwa arah pembangunan manusia ke depan tidak bisa lepas dari keseimbangan antara usia produktif dan usia lanjut. “Kalau lansia terus dianggap beban, padahal mereka punya pengalaman, jaringan, bahkan modal sosial, maka negara sedang menyia-nyiakan potensi generasinya,” pungkasnya.