Jakarta, detikj – Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak adalah sesuatu yang “by design”, atau dirancang secara sistematis, menjadi alarm serius bagi publik dan dunia kebijakan. Jika benar ada unsur kesengajaan dalam ketergantungan ini, maka bangsa ini tengah menggali lubang sendiri dalam hal kedaulatan energi.
Data memang tidak membantah kenyataan tersebut. Sepanjang 2024, Indonesia mengimpor lebih dari 54 persen BBM dari Singapura, negara yang bahkan tidak memiliki ladang minyak mentah. Artinya, kita membeli bahan bakar dari negara yang mengimpor dan mengolah minyak mentah dari tempat lain. Ini adalah ironi yang menyakitkan bagi negara penghasil minyak seperti Indonesia.
Gagas Nusantara menilai bahwa kondisi ini tidak hanya membebani neraca perdagangan, tetapi juga melemahkan posisi strategis Indonesia dalam menghadapi krisis energi global. Ketika negara lain berpacu mengamankan pasokan energi domestiknya, Indonesia justru terus menggantungkan diri pada impor yang mahal, rentan, dan tidak berkelanjutan.
Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menyatakan bahwa ketergantungan ini merupakan refleksi dari tata kelola energi yang belum memihak pada kepentingan jangka panjang bangsa. “Jika kita serius ingin keluar dari jebakan impor ini, maka yang diperlukan bukan hanya pernyataan, tetapi evaluasi menyeluruh atas kebijakan energi nasional,” ujarnya.
Gagas Nusantara mendorong pemerintah untuk melakukan langkah konkret sebagai berikut:
1. Percepatan Revitalisasi Kilang Dalam Negeri
Banyak kilang yang saat ini beroperasi dengan efisiensi rendah. Revitalisasi, baik dari sisi teknologi maupun tata kelola, menjadi kunci mengurangi impor BBM olahan.
2. Audit Kebijakan dan Aktor di Baliknya
Jika memang ada desain kebijakan yang mendorong impor, publik berhak tahu siapa yang mendapat keuntungan dari skema ini. Pemerintah harus membuka data dan melakukan audit menyeluruh.
3. Dorong Diversifikasi Energi dan Hilirisasi
Ketergantungan pada minyak harus diimbangi dengan penguatan energi alternatif. PLTS, biofuel, hingga pengembangan energi nuklir skala kecil harus diprioritaskan.
4. Bangun Diplomasi Energi yang Berimbang
Indonesia perlu merumuskan ulang strategi kerja sama energi, tidak hanya bergantung pada negara tetangga perantara, tapi membangun kemitraan langsung dengan produsen minyak dunia.
Romadhon juga menyoroti pentingnya penguatan komunikasi publik. “Keterbukaan data dan transparansi kebijakan sangat penting agar masyarakat bisa percaya bahwa arah energi kita bukan sekadar bisnis jangka pendek,” ucapnya.
Dalam konteks ini, Gagas Nusantara menegaskan bahwa langkah-langkah taktis jangka pendek seperti impor murah dari Rusia atau Amerika tetap bisa dijalankan, selama tidak menjauhkan kita dari tujuan strategis: berdiri di atas kaki sendiri dalam hal energi.
Ke depan, pemerintah harus menunjukkan bahwa bangsa ini tidak hanya berani bicara soal kemandirian energi, tapi juga punya roadmap yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Pernyataan Menteri ESDM seharusnya bukan sekadar sorotan, tapi titik balik untuk perubahan yang lebih berdaulat.