Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Iklan 728x250
APOLEKSOSBUD

Gugatan UU MD3 ke MK: Antara Hak Moral Rakyat dan Kewajiban Menjaga Stabilitas Parlemen

35
×

Gugatan UU MD3 ke MK: Antara Hak Moral Rakyat dan Kewajiban Menjaga Stabilitas Parlemen

Sebarkan artikel ini
Iklan 468x60

JAKARTA, detikj — Gugatan lima mahasiswa terhadap Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 kembali mengangkat pertanyaan klasik dalam demokrasi Indonesia: sejauh mana rakyat berhak mengoreksi wakilnya yang tak menjalankan mandat? Perkara No. 199/PUU-XXIII/2025 ini bukan hanya persoalan konstitusional, tetapi ujian kedewasaan politik Indonesia apakah kedaulatan rakyat sekadar slogan atau benar-benar diwujudkan dalam mekanisme institusional.

Para pemohon Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syaefi, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna meminta MK membuka ruang bagi constituent recall, yakni pemberhentian anggota DPR oleh pemilih melalui ambang batas ketat. Rujukannya adalah Taiwan yang telah menerapkan recall dengan mekanisme tanda tangan publik. Wacana ini sesungguhnya bukan baru; pada awal Reformasi 1999, gagasan recall oleh rakyat sempat naik ke permukaan, namun selalu tertahan atas nama stabilitas.

Iklan 300x600

Kasus-kasus PAW kontroversial selama ini membentuk persepsi publik bahwa recall lebih menjadi alat partai, bukan sarana koreksi rakyat. Banyak pergantian anggota DPR dilakukan karena dinamika internal parpol, bukan aspirasi dari dapil. Di sinilah gugatan mahasiswa menemukan pijakannya: memperbaiki ketimpangan antara legitimasi rakyat dan dominasi partai dalam menentukan nasib legislator.

Baca Juga :  JAN Dukung Langkah Tegas Polri Berantas Premanisme demi Keamanan dan Keadilan

Aktivis Nusantara, Romadhon Jasn, melihat gugatan ini sebagai langkah moral yang tepat. “Data 15 tahun terakhir menunjukkan hanya sekitar 20 persen anggota DPR aktif turun ke dapil. Recall oleh rakyat adalah hak moral yang hilang dari struktur politik kita,” ujar Romadhon Jasn dalam pernyataannya, Minggu (23/11/2025) . Namun ia mengingatkan bahwa moralitas saja tidak cukup; dibutuhkan desain sistem yang kokoh agar demokrasi tetap stabil.

Respons DPR menunjukkan spektrum sikap. Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menilai gugatan mahasiswa sebagai bagian dari dinamika politik yang wajar. “Bagus, itu dinamika,” ujarnya. Sementara Aria Bima, Wakil Ketua Komisi II, menganggap pemilu lima tahunan sudah cukup sebagai mekanisme evaluasi terhadap wakil rakyat. Namun bagi publik, argumen ini terasa tidak memadai lima tahun terlalu panjang untuk membiarkan seorang anggota DPR yang tak lagi menjalankan amanat pemilihnya.

Menurut Romadhon, perubahan tidak boleh mengancam stabilitas. “Recall membutuhkan ambang batas tinggi minimal 30 persen pemilih terdaftar plus verifikasi KPU agar tidak berubah menjadi alat balas dendam politik,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa di beberapa negara, recall yang terlalu longgar justru membuat parlemen terjebak dalam instabilitas karena politisi hidup di bawah ancaman pemecatan terus-menerus.

Baca Juga :  Kasrem 052/Wkr Berikan Materi Kuliah Tamu "Peradilan Militer" di Universitas Muhammadiyah Tangerang

Ahmad Doli Kurnia, Wakil Ketua Baleg, mengingatkan MK agar fokus pada isu-isu substantif dan tidak dibebani perkara yang terlalu teknis. Meski ucapannya tidak langsung merespons gugatan ini, pesan itu mencerminkan kehati-hatian DPR dalam menjaga marwah konstitusi. Pesan itu juga menandai sikap sebagian elite yang ingin subordinasi partai tetap terjaga, meski tekanan publik akan pembaruan semakin menguat.

Survei SMRC November 2025 mengungkap paradoks: 65 persen publik mendukung recall berbasis rakyat, namun 70 persen juga khawatir mekanisme itu akan disalahgunakan. Publik ingin punya alat korektif, tetapi juga takut pada potensi instabilitas. Angka ini menunjukkan bahwa demokrasi kita berada di titik kritis antara kehendak moral untuk memperbaiki sistem dan kecemasan terhadap potensi kekacauan politik.

Romadhon menegaskan, tugas MK adalah menemukan titik tengah. “MK harus menjaga stabilitas, tetapi menolak seluruh gagasan hanya karena takut pada perubahan sama saja menutup pintu reformasi etis yang diinginkan generasi muda,” ujarnya. Ia menilai bahwa inti persoalan bukan menerima atau menolak sepenuhnya, melainkan merumuskan mekanisme yang proporsional dan terukur.

Baca Juga :  Waktu untuk Bangkit dan Kembali Menjadi Kebanggaan Rakyat

Sidang lanjutan dijadwalkan Desember 2025. Putusan MK nanti akan menentukan apakah Indonesia siap memasuki babak baru demokrasi korektif yang memberi rakyat hak untuk mengoreksi wakilnya, atau tetap bertahan pada status quo demi stabilitas institusional. Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya membutuhkan mekanisme memilih, tetapi juga mekanisme mengoreksi. Di titik inilah, MK sedang menulis bab baru sejarah politik Indonesia.

CATATAN REDAKSI

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau
keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email:
detikdjakartaofficial@gmail.com.
_______________________

Iklan 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!