Detikdjakarta.com, Jakarta – Bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila, sejumlah tokoh masyarakat lintas latar belakang mendeklarasikan berdirinya Institut Jenderal Besar Soeharto. Acara berlangsung di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/10).
Rangkaian kegiatan diawali dengan doa bersama yang dipimpin KH. Opik, lalu dilanjutkan dengan pembacaan naskah deklarasi. Beberapa tokoh yang turut membacakan di antaranya Kartono, Tony M.A. Prabu, M. Yazid Salman, Maryadi, Luqman Iskandar Abu Bakar, Taufik Rudolf, Wawan Ridwan, Hardi Ahmad, Muhammad, dan Dartono, bersama sejumlah figur lainnya.
Dalam naskah deklarasi ditegaskan, Presiden ke-2 RI Jenderal Besar H.M. Soeharto dianggap sebagai tokoh penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Ia dinilai berhasil membawa Indonesia pada masa stabilitas politik, pembangunan ekonomi, serta menjadikan Indonesia dikenal sebagai “Macan Asia Baru” pada era 1980–1990-an, sejajar dengan negara-negara Asia lainnya.
Namun, para deklarator menilai setelah lengsernya Soeharto, arah pembangunan nasional mengalami ketidakpastian. Perubahan pasca amandemen UUD 1945 dianggap menjauhkan bangsa dari implementasi nilai-nilai Pancasila, sementara liberalisme dan komunisme dinilai semakin leluasa masuk melalui berbagai sektor.
Institut Jenderal Besar Soeharto dibentuk bukan untuk mengagungkan nama keluarga Soeharto, melainkan untuk menjaga dan mengkaji warisan pemikiran beliau. Lembaga ini diproyeksikan sebagai pusat kajian akademis independen dengan tiga misi utama:
Mendokumentasikan serta meneliti gagasan Soeharto secara ilmiah dan objektif.
Menjadi ruang diskusi terbuka bagi generasi sekarang dan mendatang dalam memahami sejarah bangsa.
Memberikan referensi dalam merumuskan kebijakan yang berpijak pada cita-cita kemerdekaan.
“Nama Soeharto bukan hanya milik keluarga, melainkan milik bangsa. Dengan semangat itu, kami mendirikan Institut Jenderal Besar Soeharto,” ujar Dartono saat membacakan deklarasi.
Dalam dialog dengan media, sejumlah jurnalis menekankan pentingnya komunikasi dengan keluarga besar Soeharto agar keberadaan institut ini memiliki legitimasi moral yang lebih kuat. Selain itu, tantangan besar lainnya adalah mengajak generasi muda memahami sejarah nasional secara jernih, termasuk peristiwa PKI dan peran Pancasila.
Para deklarator berharap lembaga ini mampu menjadi sarana edukasi sejarah sekaligus membangkitkan kesadaran kebangsaan di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Deklarasi ditutup dengan penandatanganan naskah pendirian oleh para tokoh yang hadir. Momen tersebut menandai dimulainya perjalanan baru bagi institut ini, yang diharapkan dapat menjadi wadah intelektual untuk menghidupkan kembali gagasan pembangunan ala Presiden Soeharto, serta berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang lebih berdaulat, adil, dan makmur.