Jakarta, detikj — Bank Indonesia kembali memberi sinyal pelonggaran moneter. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Jumat, 4 Juli 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan masih ada ruang untuk menurunkan suku bunga acuan demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, Forum Rakyat dan Masyarakat untuk Reformasi Keuangan (FORMASI Keuangan) mengingatkan: jangan sampai pelaku UMKM dan masyarakat desa kembali luput dari manfaat kebijakan tersebut.
“Kita telah menurunkan BI rate menjadi 5,50 persen dan masih ada ruang untuk penurunan lebih lanjut,” ujar Perry di hadapan anggota dewan.
Pernyataan itu sontak disambut positif. FORMASI Keuangan menyebut sinyal BI sebagai langkah awal yang patut diapresiasi. Namun menurut mereka, tanpa peta jalan yang jelas, pernyataan itu hanya berhenti sebagai retorika.
“Publik butuh kepastian, bukan sekadar sinyal. Kapan penurunan berikutnya? Berapa besar? Apa mekanisme agar pelaku usaha kecil ikut merasakan?” kata Akril Abdillah, Koordinator Nasional FORMASI Keuangan, dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2024 memperlihatkan penyaluran kredit UMKM belum menembus angka 20 persen dari total kredit nasional. Ketimpangan ini, menurut FORMASI, menjadi bukti bahwa pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat belum mendapat perhatian serius dalam sistem pembiayaan nasional.
“Ini bukan soal kue ekonomi yang kecil, tapi siapa yang boleh duduk di meja makan,” ujar Akril.
Selain pembiayaan, FORMASI juga menyoroti digitalisasi sistem pembayaran yang tak kunjung merata. Meskipun QRIS dan transaksi nontunai terus digaungkan, wilayah-wilayah terpencil masih terseok oleh infrastruktur dasar yang buruk, mulai dari sinyal telekomunikasi hingga ketersediaan listrik.
FORMASI Keuangan mendesak pemerintah segera menggelar pelatihan literasi digital di desa dan daerah 3T, serta percepatan pembangunan jaringan dan energi listrik sebagai tulang punggung digitalisasi ekonomi.
Sebagai solusi, Akril mengusulkan insentif bunga bagi bank-bank yang berani menyalurkan minimal 30 persen portofolio kreditnya untuk sektor mikro produktif, terutama di wilayah perdesaan.
“Bunga rendah saja tak cukup. Harus ada keberpihakan,” kata Akril.
Lebih lanjut, FORMASI Keuangan menegaskan bahwa penurunan BI rate harus disertai jaminan bahwa bank-bank umum benar-benar menurunkan suku bunga kredit mereka. Menurut Akril, Bank Indonesia perlu menunjukkan sikap tegas dan aktif memastikan transmisi kebijakan moneternya berjalan efektif, agar pembiayaan murah bisa dinikmati langsung oleh pelaku UMKM dan sektor informal.
FORMASI Keuangan mendesak Bank Indonesia agar tidak berhenti pada pengumuman angka, tetapi menyusun blueprint atau cetak biru kebijakan yang mengintegrasikan tiga pilar: suku bunga rendah, inklusi digital, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
“Penurunan bunga tanpa dukungan program pemberdayaan adalah solusi setengah hati. Jika benar ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, UMKM dan desa harus jadi pusat perhatian, bukan hanya penonton,” tutup Akril.