Jakarta || Sejumlah mahasiswa dan pemuda asal Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam Korps Mahasiswa Nusantara (KOMANDAN) kembali menyerukan desakan kepada Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, untuk bersikap terbuka dan bertanggung jawab terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Tiran Mineral di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Desakan itu bukan tanpa alasan. Menurut KOMANDAN, PT. Tiran Mineral diduga kuat membangun narasi palsu soal pembangunan smelter demi memuluskan aktivitas eksploitasi sumber daya alam. Proyek yang diklaim sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) itu, nyatanya disebut hanya menjadi tameng legal bagi perusahaan untuk terus menambang dan menjual ore nikel tanpa kejelasan pembangunan smelter.
“Smelter itu fiktif, hanya akal-akalan,” tegas Akbar Rasyid, juru bicara KOMANDAN, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (5/7).
Menurutnya, aktivitas tambang Tiran Mineral di Kecamatan Lasolo Kepulauan, khususnya Desa Waturambaha, telah berdampak serius terhadap lingkungan dan tata kelola pertambangan yang sehat. Ia menyebut Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, seolah-olah “tutup mata dan bungkam” atas persoalan ini.
Akbar menduga, keberadaan proyek smelter tersebut tak lebih dari instrumen korporasi untuk menguasai izin dan sumber daya. Dalam penelusuran lapangan yang dilakukan pihaknya, sejumlah dokumen yang digunakan oleh Tiran Mineral terindikasi menjadikan status PSN sebagai dalih percepatan izin. Namun, tak ada realisasi pembangunan smelter yang bisa dibuktikan secara konkret.
“Yang mereka lakukan hanyalah mengeruk dan menjual ore nikel. Ini sudah jelas penyesatan publik,” ujar Akbar.
KOMANDAN juga menyinggung bahwa nama Amran Sulaiman sebelumnya pernah disebut-sebut dalam pusaran kasus dugaan korupsi perizinan tambang yang menjerat Aswad Sulaiman, mantan Bupati Konawe Utara, yang juga masih memiliki hubungan keluarga.
Aswad telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap dan gratifikasi yang ditaksir merugikan negara Rp 2,7 triliun namun tak kunjung ditahan.
“Amran hanya dimintai keterangan sebagai saksi oleh KPK, padahal posisinya pada periode 2007–2009 dan 2011–2016 sangat strategis,” tambah Akbar.
Menurut mereka, diamnya Amran Sulaiman dalam isu ini menjadi tanda tanya besar. Mereka menilai, jika ia memiliki komitmen terhadap integritas dan kepentingan publik, maka ia seharusnya bersuara dan menjelaskan keterkaitannya secara terang.
Atas dasar itu, KOMANDAN mendesak aparat penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan Agung, untuk segera membuka kembali dan mengusut secara tuntas dugaan penyimpangan dana sebesar Rp 4,9 triliun yang berkaitan dengan pembangunan smelter fiktif tersebut.
“Jika ini dibiarkan, maka negara dirugikan dua kali: pertama karena izin dikeluarkan dengan dasar palsu, dan kedua karena sumber daya alam kita dikuras tanpa nilai tambah,” tegas Akbar.
Mereka menegaskan, jika negara ingin serius dalam membenahi tata kelola pertambangan dan membangun iklim investasi yang sehat, maka penegakan hukum atas kasus ini harus dijadikan prioritas nasional.