Jakarta, 10 Desember 2025 — Dugaan mark-up Anggaran Dana Desa (ADD) Nanali, Kabupaten Buru Selatan, kembali menjadi sorotan publik. Masyarakat Desa Nanali bersama kalangan muda, akademisi, dan aktivis, termasuk Maco Lansima, menilai kasus ini bukan persoalan kecil, tetapi bagian dari problem struktural yang dibiarkan bertahun-tahun.
Sejak 2015, ADD Nanali disalurkan melalui pemerintah daerah, sebelum kemudian dialihkan langsung ke rekening desa pada periode 2020–2025. Dana yang diterima setiap tahun dinilai cukup besar, terlebih alokasi ADD nasional pada 2025 mencapai Rp71 triliun, yang dibagi berdasarkan demografi, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan luas wilayah. Dengan kondisi tersebut, secara logis infrastruktur Desa Nanali seharusnya jauh lebih maju.
Namun, fakta di lapangan berbanding terbalik. Proyek pelebaran jalan justru merusak akses desa tanpa adanya tindak lanjut revitalisasi atau rekonstruksi. Gedung kesehatan dan fasilitas pelayanan publik lainnya juga tidak menunjukkan perkembangan signifikan. Kondisi ini membuat masyarakat mempertanyakan aliran dana desa sejak 2015 hingga 2025.
“Itu poin kritis yang harus dijawab. Masyarakat berhak tahu ke mana dana ADD mengalir selama ini,” tegas Maco.
Maco Lansima menekankan bahwa Kejaksaan Negeri Buru (Kejari Buru) memikul tanggung jawab besar dalam menangani dugaan tindak pidana korupsi ADD Nanali periode 2020–2025 yang diduga dilakukan Kepala Desa Nanali, Abdul Nasir. Saat ini kasus tersebut telah masuk tahap penyidikan.
Ia menilai pola penyaluran dana sejak 2015 hingga peralihan ke rekening desa pada 2020 menunjukkan potensi ketidaktertiban yang harus dibongkar secara menyeluruh.
Publik disebut sudah jenuh dengan kasus korupsi desa yang hanya ramai di awal lalu menghilang, bahkan ada yang dipeti-eskan. Karena itu, Maco mendesak Kejari Buru bersikap tegas, independen, dan bebas dari intervensi elite lokal.
“Kalau Kejari Buru mau menjaga martabat institusi, penegakan hukum harus ketat, transparan, dan tanpa kompromi. Itu harga mati,” ujarnya.
Penetapan Abdul Nasir sebagai tersangka terkait dugaan korupsi pengadaan tempat penangkaran kepiting tahun 2020 dengan kerugian negara sekitar Rp517 juta disebut Maco bukanlah ujung kasus.
Nilai kerugian tersebut mungkin tidak besar secara makro, tetapi sangat berarti bagi masyarakat desa.
Dugaan mark-up ADD periode 2022–2025 yang kini diselidiki juga disebut memiliki pola serupa dengan kasus tahun 2020. Hal ini memperkuat dugaan adanya praktik korupsi sistematis dan terorganisir—mulai dari penggelembungan anggaran, program fiktif, hingga laporan manipulatif.
Maco mendesak agar Kejari Buru tidak berhenti pada tersangka tunggal. Audit harus dibuka dan aliran dana ditelusuri hingga tuntas.
“Semua pihak yang terlibat, baik dari struktur desa, kecamatan, hingga kabupaten, harus dibongkar. Publik punya hak mengetahui,” katanya.
Ia menilai penyelesaian kasus ini penting bagi masa depan politik dan kualitas demokrasi masyarakat Buru Selatan.
Sebagai aktivis yang berdomisili di Jakarta sekaligus putra asli Desa Nanali, Maco mengingatkan masyarakat agar tidak pasif. Media juga diminta terus mengawal perkembangan kasus.
Menurutnya, korupsi dana desa bukan sekadar tindak pidana, tetapi bentuk pengkhianatan moral, karena uang yang seharusnya menjadi pembangunan justru masuk ke kantong pribadi.
“Reformasi bukan slogan. Jika kasus ini ditangani serius, ini bisa menjadi titik balik bahwa hukum masih punya taring,” tegasnya
Maco menegaskan masyarakat kini tidak cukup dengan pengumuman tersangka. Mereka menuntut pembuktian, proses yang transparan, dan vonis yang setimpal.
“Kalau penegakan hukum di level desa saja gagal, jangan bermimpi bicara keadilan di level negara. Proses hukum jangan longgar, jangan kompromi, dan jangan beri ruang negosiasi. Ini soal marwah hukum dan masa depan masyarakat Nanali.”


















