Detikdjakarta, Jakarta – Pemerintah terus memperketat aturan pembangunan PLTU baru untuk mengejar target net zero emission (NZE) 2060. Meski begitu, beberapa proyek masih mendapatkan pengecualian, terutama yang terintegrasi dengan kawasan industri, proyek strategis nasional, atau yang sudah masuk rencana sebelumnya. Ketentuan ini tercantum dalam Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan yang tengah direvisi.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai bahwa pembatasan pembangunan PLTU saja tidak cukup tanpa percepatan pensiun dini. IESR menegaskan bahwa seluruh PLTU batubara idealnya berhenti beroperasi sebelum 2050. Bahkan, instruksi Presiden Prabowo mendorong agar langkah ini dilakukan sebelum 2040. IESR mengingatkan bahwa menunda pensiun PLTU akan memberi sinyal negatif bagi investor dan dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi di tengah tren global menuju energi bersih.
Untuk mendorong percepatan transisi, IESR menggelar Brown to Green Conference pada 2–3 Desember 2025. Konferensi ini didukung oleh Kedutaan Besar Inggris melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI). Melalui forum tersebut, IESR menekankan pentingnya memulai pensiun PLTU dengan pendekatan operasi fleksibel pada pembangkit yang masih memiliki umur ekonomi panjang, terutama yang terhubung ke jaringan PLN.
Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara, menyampaikan bahwa fleksibilitas operasi PLTU menjadi langkah kunci dalam integrasi energi terbarukan.
“Operasi fleksibel PLTU sangat penting untuk mengakomodasi meningkatnya bauran energi terbarukan, menekan biaya pembangkitan, dan memenuhi standar emisi yang semakin ketat,” ujar Raditya saat presentasi di kawasan Satrio, Jakarta (27/11).
Ia juga menambahkan dengan kapasitas operasi 40–65 persen menggunakan acuan harga batu bara internasional, penghematan biaya bisa sangat signifikan. Kekurangan energi dari pengurangan jam operasi dapat digantikan oleh PLTS.
Raditya turut menyoroti tantangan dari pembangkit captive yang berada di luar jaringan PLN. Ia menjelaskan bahwa jumlah PLTU captive semakin meningkat seiring agenda hilirisasi. “Pemerintah perlu mendorong pemilik aset captive ini agar bisa memanfaatkan energi terbarukan langsung di lokasi, atau memperluas opsi menggunakan listrik dari jaringan PLN,” katanya.
Sementara itu, Manajer Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menilai potensi panas bumi sebagai alternatif kuat dalam transisi energi.
“Selain energi surya dan angin yang bersifat variabel, potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 2.160 GW bisa menjadi solusi untuk pasokan listrik dan panas industri,” jelas Deon.
Menurut Deon, kebutuhan industri yang memerlukan energi panas rendah karbon, terutama di bawah 200 derajat Celsius, sangat memungkinkan dipenuhi oleh panas bumi. Ia juga menilai rendahnya pemanfaatan panas bumi saat ini sebagai peluang besar yang belum tergarap optimal.
“Pemanfaatan langsung panas bumi masih sangat minim. Padahal Indonesia punya pengalaman panjang di sektor minyak dan gas yang seharusnya bisa mempercepat pengembangan panas bumi,” ungkap Deon.



















