Detikj – Polemik mengenai KUHAP baru kembali mengemuka setelah sejumlah koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Perppu untuk membatalkan regulasi tersebut. Narasi “krisis hukum pidana” yang disampaikan Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, memberi kesan seolah negara tengah berada di ambang represi. Padahal, KUHAP baru telah melalui proses legislasi formal dan sah ketika diketok DPR pada 18 November 2025. Alih-alih memberi ruang dialog lanjutan, kritik yang mengeras justru memperkeruh ruang publik tanpa menawarkan langkah teknis yang dapat menyempurnakan regulasi.
Kelompok sipil menyoroti Pasal 93 yang dinilai membatasi sebagian kewenangan PPNS seperti BNN atau polisi kehutanan. Namun, framing tersebut kerap digambarkan secara berlebihan hingga memunculkan persepsi bahwa pemerintahan hari ini akan membiarkan platform Asta Cita runtuh. Narasi demikian memerlukan pelurusan agar tidak menimbulkan kecemasan yang tidak proporsional.
Aktivis muda Aceh–Jakarta, Wanda Assyura, yang selama ini mengikuti dinamika reformasi hukum nasional, menilai kritik tersebut cenderung emosional dan kurang bertumpu pada pembacaan menyeluruh terhadap naskah UU. Menurutnya, banyak kekhawatiran yang dibangun tidak berangkat dari data perbandingan regulasi maupun analisis harmonisasi perangkat hukum.
Wanda menjelaskan bahwa desakan Perppu bukan langkah yang tepat. Perppu merupakan instrumen konstitusional untuk keadaan luar biasa, bukan mekanisme veto politik atas proses legislasi yang sudah berlangsung panjang dan deliberatif. Ia mengingatkan bahwa sejak Februari 2025, DPR telah membuka ruang RDPU dan melibatkan lebih dari 130 pihak. “Kritik yang muncul di tahap akhir tentu sah, tetapi menjadi kurang efektif ketika pintu dialog sebenarnya sudah dibuka lebar sejak awal,” ujarnya dalam rilis tertulis, Selasa (25/11/2025).
Ia menilai kekhawatiran soal transisi dan banyaknya regulasi turunan tidak dapat menjadi alasan untuk meminta pembatalan total. KUHP 2023 saja membutuhkan masa penyesuaian tiga tahun, dan itu merupakan mekanisme wajar dalam pembaruan hukum pidana. Menurut Wanda, yang dibutuhkan bukanlah pembalikan keputusan melalui Perppu, tetapi sinkronisasi lintas-regulator agar implementasi berjalan efektif dan tidak membingungkan publik.
Terkait tuduhan ancaman HAM, Wanda menilai beberapa klaim yang beredar tidak sepenuhnya akurat. Pasal 93 yang dipermasalahkan sesungguhnya bertujuan memperkuat koordinasi penegak hukum agar kewenangan tidak saling tumpang tindih, situasi yang selama ini kerap menjadi celah terjadinya penyimpangan. “Penataan bukan berarti pelemahan. Yang ingin diperbaiki adalah sistemnya, agar penegakan hukum lebih rapi dan akuntabel,” jelasnya.
Isu penangkapan sewenang-wenang dan penyadapan tanpa izin hakim juga sudah dibantah oleh berbagai pakar dan anggota Komisi III DPR. Aturan baru justru memperketat prosedur dengan memperluas akuntabilitas dan mekanisme pengawasan. Wanda menilai isu-isu tersebut harus diperiksa berdasarkan teks, bukan melalui interpretasi yang dibesar-besarkan. “Jika benar ada pasal yang belum ideal, jalur revisi teknis adalah cara yang lebih produktif,” katanya.
Wanda mengingatkan bahwa langkah koalisi sipil yang menarasikan “kekacauan sistemik” berpotensi mengganggu momentum reformasi hukum yang sedang dikerjakan pemerintah. KUHAP baru merupakan bagian dari upaya besar untuk menata sistem peradilan pidana agar lebih selaras dengan KUHP nasional, memperkuat kepastian hukum, dan menutup ruang penyalahgunaan kewenangan. “Semangat pembaruan jangan dikerdilkan oleh retorika ketakutan,” tegasnya.
Menurutnya, kritik tetap penting dalam demokrasi, namun harus hadir bersama tawaran solusi. Kritik yang hanya berorientasi pada pembatalan total tanpa naskah perbaikan justru akan membuat negara tersandera opini publik yang gaduh. Ia mengajak semua pihak untuk melihat konteks lebih luas: bahwa reformasi hukum membutuhkan kesinambungan, bukan gejolak baru.
Di akhir pernyataannya, Wanda mengajak koalisi sipil dan masyarakat lainnya untuk kembali ke ruang dialog substantif. “KUHAP baru bukan akhir demokrasi, tetapi awal penataan yang lebih modern. Jika kita benar ingin melindungi hak warga, mari fokus pada pengawasan implementasi dan penyempurnaan teknis, bukan membangun kepanikan baru,” pungkasnya.


















