JAKARTA,- Kasus “motor brebet” yang sempat viral di Jawa Timur bukan hanya menguji kualitas bahan bakar, tetapi juga menguji daya tahan kepercayaan publik terhadap Pertamina. Dalam hitungan hari, keresahan menjalar lebih cepat dari hasil uji laboratorium, sementara opini liar di media sosial memperkeruh suasana dan menimbulkan persepsi negatif.
Namun, setelah hasil resmi dari Lemigas dan Ditjen Migas keluar dan memastikan Pertalite “on specification”, fokus kini bergeser dari isu teknis menuju krisis persepsi publik. Di era digital, kecepatan viral sering kali mengalahkan kecepatan klarifikasi. Pertamina kini menghadapi tugas berat: bukan sekadar menjaga mutu produk, tetapi memulihkan kepercayaan yang sempat terguncang oleh badai informasi yang tidak proporsional.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, menegaskan bahwa seluruh produk BBM, termasuk Pertalite, diproduksi sesuai standar dan diawasi ketat. Ia menjelaskan bahwa hasil pengujian resmi bersama Lemigas dan Ditjen Migas menunjukkan tidak adanya campuran air maupun etanol pada produk Pertalite yang beredar di SPBU wilayah Jawa Timur. “Kami sudah melakukan pengecekan dengan metodologi uji pasta air, densitas, hingga kejernihan warna BBM, dan hasilnya seluruh sampel dinyatakan on specification. Tidak ditemukan indikasi kontaminasi,” ujar Mars Ega dalam konferensi pers hasil investigasi gabungan. Ia juga memastikan, bagi masyarakat yang terdampak dan memiliki bukti pembelian di SPBU Pertamina, perusahaan siap memberikan kompensasi sesuai prosedur.
Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menilai langkah cepat Pertamina dan pemerintah sudah di jalur yang tepat. Ia mengatakan saatnya publik fokus pada pemulihan kepercayaan dan peningkatan pemahaman energi, bukan lagi pada isu yang sudah terverifikasi. “Semua hasil uji sudah keluar dan fakta telah bicara. Kritik tetap penting, tapi jangan dijadikan bahan untuk menakuti publik. Sekarang waktunya kita belajar dari kejadian ini dan memperkuat komunikasi energi yang jernih,” ujarnya di Jakarta, Senin (3/11).
Hasil uji laboratorium Lemigas memastikan Pertalite di sejumlah SPBU Jawa Timur memenuhi spesifikasi yang diatur dalam SK Dirjen Migas Nomor 486 Tahun 2017. Fenomena motor mogok kemungkinan besar disebabkan oleh faktor lain di luar bahan bakar. Ahli Teknik Kimia ITS, Renanto, menjelaskan bahwa secara kimiawi air tidak mungkin larut dalam jumlah besar pada bahan bakar hidrokarbon seperti Pertalite. “Hasil uji spesifikasi menunjukkan Pertalite bebas air dan aman digunakan, asal sesuai rekomendasi kendaraan,” ujarnya.
Meski demikian, isu ini menunjukkan pentingnya komunikasi publik yang cepat dan terintegrasi. “Dalam era digital, narasi bisa membentuk realitas. Kalau komunikasi lambat, persepsi publik terbentuk lebih dulu sebelum fakta bicara,” tambah Romadhon Jasn. Ia menilai, Pertamina perlu memperkuat koordinasi antara tim komunikasi, teknis, dan mitra SPBU agar informasi resmi lebih cepat tersampaikan ke masyarakat.
Sejumlah pejabat publik pun sempat memberi pernyataan yang memicu perdebatan, termasuk dugaan “cairan campuran etanol” sebelum hasil uji keluar. Menurut Romadhon Jasn, hal semacam itu justru bisa memperkeruh situasi. “Pejabat publik seharusnya menenangkan, bukan menambah spekulasi. Kalau berbicara tanpa data, yang rugi bukan hanya Pertamina, tapi juga kepercayaan publik terhadap institusi negara,” ujarnya mengingatkan.
Pertamina Patra Niaga sendiri telah membuka 17 posko pengaduan di berbagai wilayah dan menindaklanjuti hampir 300 laporan keluhan. Sebagian besar berasal dari pengguna sepeda motor, dan 50 persen di antaranya telah selesai diverifikasi. “Kami akan terus terbuka dan siap memperbaiki jika ditemukan kekeliruan. Transparansi adalah kunci menjaga kepercayaan publik,” tegas Mars Ega.
Menurut Romadhon Jasn, kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi Pertamina untuk memperluas kolaborasi komunikasi publik. “Isu seperti ini tidak bisa dilawan dengan defensif, tapi dengan edukasi serta kehadiran aktif dan memperkuat literasi energi publik,” katanya.
Lebih jauh, Romadhon menekankan bahwa membangun kembali kepercayaan publik membutuhkan pendekatan yang sabar dan partisipatif. “Energi adalah urusan bersama. Kalau ada masalah, kita benahi dengan data, bukan amarah. Kalau komunikasi dibangun dengan jujur dan terbuka, kepercayaan publik akan pulih dengan sendirinya,” pungkas Romadhon.


















